25. Ilyas dan Rumah Kasih

3.3K 794 350
                                    

|| 25: Ilyas's pov | 4221 words ||

Ketika melewati flyover, kami bisa melihat blokade untuk jalan tol yang telah ditutup pasca infiltrasi zombie—tiga lapis pagar kawat, dua parit beton besar, dan banyak sekali jebakan zombie tersebar pada lahan gersang di sekitarnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ketika melewati flyover, kami bisa melihat blokade untuk jalan tol yang telah ditutup pasca infiltrasi zombie—tiga lapis pagar kawat, dua parit beton besar, dan banyak sekali jebakan zombie tersebar pada lahan gersang di sekitarnya. Portal masuk jalan tol kira-kira setengah kilometer dari Rumah Kasih—panti asuhan tempatku berasal. Dan kami masih lima kilometer jauhnya dari tempat itu.

"Kudengar, banyak orang di area ini pindah karena takut tinggal berdekatan dengan jalan tol," ujar Cal seraya melirik bentangan pagar kawat. "Tapi sekarang, malah lokasi ini yang paling aman. Para mayat hidup tidak bergerak kemari karena konsentrasi penduduknya ada di pusat kota. Sedangkan zombie-zombie yang menginfiltrasi jalan tol terjebak di sana tanpa ada otak yang bisa dimakan."

Aku melirik tangannya di roda setir sementara dia terus bicara.

"Berhenti, Cal."

Dia mengernyit, tetapi tetap memelankan sedan. Kami bahkan tak menepi, hanya berhenti di tengah-tengah jalan layang karena tak ada satu pun kendaraan melintas.

Kukeluarkan air botolan, perban, disinfektan pembersih luka, dan salep antibiotik. Semua ini kubawa dari rumah sakit Distrik Arum untuk jaga-jaga karena dia punya bekas luka tikaman. Aku turun dari mobil dan membuka pintunya. Cal tampak ragu. "Pakai antiseptik saja."

"Itu bakal membuat iritasi." Kupaksa dia mengeluarkan kakinya. Sepatunya sudah lengket oleh darah dan lumpur mengerak, nyaris tidak bisa dilepas. Kusiramkan air ke tungkainya, menyibak sisa darah dari luka robek pada kulitnya. Gadis itu bahkan tidak berjengit.

Punggung tangan kirinya membengkak sampai keunguan. Saat aku menekan ruas-ruas jarinya, Cal akhirnya meringis kecil. Tangan kanannya mencengkram bahuku. Kubalut tangannya dengan perban sampai pergelangan. Benar-benar mengherankan dia masih bisa menyetir sambil mengoceh panjang lebar dalam keadaan seperti ini.

"Darahku menetesku ke aspal," katanya cemas ketika aku membalut luka kakinya. "Bagaimana kalau ada tipe 3 yang mengendusnya di sekitar sini?"

"Kau lihat sendiri di sini hampir tak ada manusia, apalagi zombie." Aku melirik Joo, yang masih tak bisa kutebak arah maupun arti tatapan matanya. "Yah, kecuali yang kita bawa-bawa di jok belakang."

"Kau yakin mau menyerahkan Joo ke Randall?" tanya Cal tiba-tiba.

"Ke mana lagi kita mesti mengantarnya?"

"Dia bisa ikut sama kita."

Aku mendongak begitu saja dan langsung menyesalinya. Melihat pengharapan di matanya seperti tikaman ke jantungku. Cal bahkan tidak berkedip, seperti menungguku menjawab. Seolah-olah dia masih butuh mendengarnya langsung dari mulutku bahwa kami masih akan bersama-sama keluar dari lubang neraka ini dan pergi ke Neraka sungguhan di luar Tembok W sana.

Aku berdusta saat masih di rumah dan berkata akan ikut dengannya di saat aku punya rencana lain, semestinya aku bisa mengulangi itu untuk menurunkan kewaspadaannya. Sekarang, kudapati diriku tidak mampu berucap apa-apa. Sejak kapan aku merasa begitu bersalah membohonginya?

Escapade 1: A Lone WayfarerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang