22. Cal dan Ibu Kota

3.1K 822 300
                                    

|| 22: Cal's pov | 3462 words ||

Kamar hotel yang dipesankan Randall Duma sangat nyaman dan berkelas, jadi aku tidak mengerti kenapa terdengar suara tangisan dan kasak-kusuk ribut dari lorong atau kamar lain

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kamar hotel yang dipesankan Randall Duma sangat nyaman dan berkelas, jadi aku tidak mengerti kenapa terdengar suara tangisan dan kasak-kusuk ribut dari lorong atau kamar lain. Ada yang komat-kamit berdoa juga—karena hanya pada momen-momen macam ini mereka ingat Tuhan masih ada.

Menurut Ilyas, aku saja yang tidak normal, masih bisa rebahan di saat seperti ini. Menurutku, mereka saja yang tidak tahu cara menikmati hidup. Si Kepala Polisi baik sekali—dia memesankan banyak sekali makanan untuk diantar ke kamar kami sebelum pergi. Yah, acara ke kantor wali kotanya pasti batal karena para polisi sekarang bergegas-gegas ke hampir sepenjuru Batavia yang kedatangan zombie.

Sebetulnya, ada dua kamar yang dipesan oleh Randall untuk kami, tetapi karena perintah isolasi darurat, Ilyas dan aku harus berjejalan lagi dalam satu kamar. Hotel ini harus menerima dan melindungi sebanyak mungkin orang yang sedang berada di jalanan, jadi kamar-kamar yang kosong pun langsung penuh dan satu kamar kami diberikan ke satu keluarga beranggotakan lima orang.

Untungnya, di kamar ini hanya ada aku, Ilyas, Emma, dan zombie Joo. Si zombie mengekor dengan patuh dan tidak menarik perhatian saat kericuhan. Namun, Ilyas tetap marah sekali padanya karena keluar dari mobil tanpa bilang-bilang.

Pemuda itu membuka tirai dan mengintip keadaan di luar lewat jendela—sudah empat kali dia melakukan itu setelah kami selesai makan. Kamar kami di lantai 7, dan aku senang melihat pemandangan dari atas, tetapi Ilyas tak bisa diajak senang-senang. Dia terus melontarkan dugaan-dugaan tentang infiltrasi zombie, estimasi waktu jatuhnya Batavia, dan keanehan kenapa gelombang zombie berbelok dari Renjani ke Batavia.

Ranjang di kamar ini cuma satu, tetapi ukurannya luar biasa besar. Kutepuk-tepuk tempat di sebelahku. "Tidur sini. Aku tidak akan melakukan apa-apa padamu. Nanti, kalau ada zombie—selain Joo, maksudku—akan kubangunkan kau."

Ilyas akhirnya menjauhi jendela dan duduk di tepi ranjang, berhadapan dengan Joo yang duduk di sofa di samping televisi.

"Jangan bergerak diam-diam lagi," kata Ilyas menggurui Joo. "Aku hampir mempertimbangkan untuk langsung melaporkanmu pada Randall tadi."

"Ya, ya, Papa." Aku mendengkus jenuh dan berguling memunggungi Ilyas.

Ilyas mengabaikan ejekanku dan terus berceramah. "Jangan berkeliaran di sekitar manusia sembarangan—pertama, kau bisa menyebabkan kepanikan; kedua, kau bisa saja digerakkan oleh insting memangsa otak lagi secara tiba-tiba. Setidaknya, selalu berada di sisi Cal, paham?"

Aku berguling menghadap Ilyas. "Aku bukan pengasuhnya."

"Tapi, cuma kau yang cukup tangguh buat mengatasinya kalau dia melakukan hal yang tak terduga."

Senyum dan raut wajah tersipuku muncul tanpa bisa kukendalikan. "Oke, deh."

Aku baru akan berguling lagi menghadap Emma yang sudah tidur pulas, kemudian Ilyas menjatuhkan dirinya di sisiku. Dia berbaring telentang dan matanya menerawang ke plafon. Dia memasang tampang berpikirnya lagi—bibir terkatup rapat, rahang mengencang, mata menatap lurus dengan pandangan menerawang. Kudapati diriku tidak bisa memunggunginya dan malah memandanginya dari samping.

Escapade 1: A Lone WayfarerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang