Terbang ✈🛩

1.3K 15 1
                                    

Setibanya di terminal kedatangan, Rani menggandeng tanganku untuk menjauh dari Pak Ardhan sambil menunggu bagasi.

"Kenapa kamu digandeng banget sama Pak Ardhan sih, Nad? Kamu kena guna-guna, ya?" tanya Rani sambil sesekali melihat ke arah Pak Ardhan yang terlihat sedang menelpon seseorang.

Kaca mata hitam yang tadi dikenakan olehnya sudah dilepas dan memang, Pak Ardhan terlihat sangat lelah dari sorot matanya.

Laki-laki itu bersandar di pilar gedung sambil terus sibuk dengan ponselnya. Aku tahu perjalanan ini pasti sangat mengganggu beberapa jadwal pekerjaannya.

"Rani, aku ... ehm."

"Nadila, jangan macam-macam!"

Aku hanya tersenyum sambil menggenggam tangan Rani dengan erat. Entah apa yang sedang berkecamuk di pikirannya tapi bisa kupastikan, dia sedang menebak sesuatu tentang hubunganku dengan Pak Ardhan.

"Kamu nggak jadi sugar baby-nya Pak Ardhan, kan?" Rani menebak dengan wajah sangat serius.

"Sugar baby? Lebih dari itu."

"Hah! Astaghfirullah, Nadila. Itu dosa besar, Nduk."

"Kami akan menikah, masa sih itu dosa?"

Rani tersedak salivanya sendiri, lalu memukul punggungku dengan sangat keras. Berkali-kali dia mengusap dadanya sambil tertawa, menyebalkan sekali. Sebelumnya dia menuduhku sebagai seorang sugar baby dan mengatakan bahwa itu dosa besar, tapi saat kukatakan kami akan menikah justru Rani terlihat tidak percaya.

Bebarapa orang yang melintasi kami berdua terlihat heran dengan tingkah Rani. Dia terlihat sulit untuk berhenti tertawa dan selalu mengulang-ulang perkataan bahwa aku adalah sugar baby.

"Sorry, Nad. Kamu kenapa nggak ikut grup lawak Srimulat aja sih. Lucu banget, astaga."

"Ntar aku undang deh, jadi tukang kipas. Mau nggak?"

"Kalau di kehidupan nyata mau bangetlah, asal kamu nggak ngehalu aja. "

Oke. Rani adalah reaksi pertama yang terlihat nyata tidak mempercayai bahwa aku akan menikah dengan Pak Ardhan. Aku masih harus menghadapi kedua orang tua, keluarga juga rekan-rekan kerja lainnya.

Pandanganku terkunci pada koper-koper kami yang melintas dan cepat-cepat kutarik tangan Rani untuk mengambilnya. Pak Ardhan tidak terlihat di tempat semula, mungkin dia ke toilet atau entahlah.

Kami juga tidak akan pulang ke rumah yang sama, jadi kurasa lebih baik kalau aku dan Rani segera keluar dari terminal kedatangan tanpa menunggunya.

Kondisi bandara yang belum terlalu ramai membuatku dengan mudah melihat Ayah, Ibu dan juga Raihan dari kejauhan. Aku sungguh merindukan mereka semua. Langkah kaki semakin cepat dengan pandangan fokus ke depan dan rasanya ingin langsung melompat memeluk ibuku tersayang.

"Mbak ...." Raihan berteriak sambil melambaikan tangannya. Ah, aku juga rindu pemuda yang satu itu. Adik laki-laki sekaligus partner in crime.

"Assalamu'alaikum, Ayah, Ibu, Cah Bagus."

"Wa'alaikum salam, Nduk. Sehat?" Kucium tangan Ayah dan Ibu, sedangkan Raihan mengambil alih koperku.

Sejenak aku dan Rani saling berpamitan saat kami berpisah. Dia dijemput oleh Angga, pacarnya, sedangkan Pak Ardhan sudah tak terlihat lagi di sisi manapun padahal aku juga ingin berpamitan dengannya.

Kami berempat langsung pulang ke rumah karena ibu sudah memasak menu makanan kesukaanku. Sepanjang jalan, Raihan tak henti-hetinya bercerita tentang apa saja yang terjadi sejak aku pergi. Mulai dari urusan sekolah, bertengkar dengan tetangga, sampai cewek baru pindahan dari Bali yang tinggal di belakang rumah.

GHOSTING (Terbit)✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang