Keppo

1.5K 31 2
                                    

Aku pernah mengetahui istilah Ghosting dari cerita maupun artikel-artikel yang pernah kubaca. Seseorang yang dengan sengaja mengevaporasi bersama udara dan menghilang begitu saja tanpa penjelasan apa-apa.

Saat itu, tentunya takkan kukira akan sesakit ini. Rasanya seperti sedang dihapus dari ingatan dan seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Gila. Memang ini semua hampir membuatku jadi gila.

Makan tak enak, tidurpun kurang nyenyak. Pikiranku seolah dipaksa bekerja lebih keras dengan banyaknya pertanyaan dengan awalan _kenapa.

"Nadila, meeting setengah jam lagi ya," ucap Diana sambil mengetuk pintu ruanganku.

Diana bekerja sebagai resepsionis di perusahaan ini. Usianya masih dua puluh dua tahun tapi sangat menyukai dandanan menor. Bolt dan membuat wajahnya terlihat lebih tua beberapa tahun.

Kadang dia berdandan lebih heboh ketimbang istri-istri bos dengan bulu mata palsu yang sering membuatku cemas akan lepas terkena terpaan angin.

"Iya, aku tahu."

"Jangan telat, hari ini kita kedatangan bos besar dari Jakarta."

"Iya, Ana. Iya ...."

Suasana hatiku sedang buruk. Sangat buruk.

Semalam, aku mendapati Dimas membuat postingan setelah lama menghilang. Ya, sudah satu bulan pemuda tampan sekaligus menyebalkan itu menonaktifkan semua media sosial dan mengganti nomer ponsel.

Memberikan silent treatment setelah membuatku merasa punya ikatan emosional kuat dengannya. Sialnya lagi aku tak sempat bertanya alamat rumah bahkan tempatnya bekerja.

Mengenal Dimas selama tiga bulan ini membuatku hampir mengetahui semua seluk beluk laki-laki, mulai dari kebiasaannya jarang mandi, suka mengumpat dan memiliki aroma tubuh yang cukup memabukkan.

"Nadila, neraca bulan lalu tolong disiapkan ya. Kita butuh meyakinkan pihak bank agar pinjaman kreditnya disetujui," kata Pak Arjuna.

Pak Arjuna adalah seorang direktur dan atasanku langsung. Usia kami terpaut sepuluh tahun tapi visual kami berdua seperti seumuran. Entah dia yang awet muda, aku yang mengalami penuaan dini.

"Sudah di meja Bapak, di map merah."

"Ah ... masa sih. Nggak ada tuh. Mana?"

"Bapak dari mana sih?" Akhirnya aku berdiri dan beranjak ke ruangan Pak Arjuna. Ruangan kami bersebelahan tapi memang menunjukkan perbedaan jabatan.

Ruangan Pak Arjuna lebih luas dengan tatanan  furniture minimalis keluaran terbaru. Wall papernya juga custom, terlihat mahal dan berkelas.

Sangat jauh berbeda kasta dengan ruang karyawan, cat temboknya sudah usang terkelupas serta aroma pengharum udara yang sudah lama tak diganti, menjadikan hawa pengap semakin dramatis  apalagi jika salah satu penghuni di sana buang angin sembarangan.

"Saya dari rumah. Kenapa tanya-tanya? Kamu kira saya nggak punya rumah, atau bermalam di ... ehm, kamu nuduh ya?"

Aku menggeleng sambil mengambil map laporan yang kumaksudkan. Menyerahkannya ke tangan Pak Arjuna.

Tiba-tiba saja dia menatap dengan sorot mata genit sambil menyentuh ujung map di tanganku.

"Kamu kenapa sih, Dila. Saya lihat beberapa hari ini jarang senyum."

"Masa sih, Pak?" Kujawab seadanya.

Batinku sedang berdarah-darah saat ini, dia malah mengajakku bercanda. Sungguh aku jadi tak selera.

Satu-satunya yang bisa kulakukan adalah menerima dan berdamai dengan diriku tanpa mencari tahu lebih jauh lagi alasan Dimas untuk memilih pergi begitu saja.

GHOSTING (Terbit)✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang