Mendadak Mudik

1.4K 18 1
                                    

Aku sangat takut saat Pak Ardhan mengajakku untuk segera turun setibanya di bandara. Hanya membawa tas selempang kecil miliknya dan dalam keadaan belum mandi, dia mau ke mana sebenarnya?

“Sebentar ya, saya beli sikat dan pasta gigi dulu,” ujarnya sambil mengajakku ke sebuah mini market di bandara.

“Pak, kita … ah, Bapak kenapa mau gosok gigi di bandara sih?”

“Kamu yang memaksa.”

“Ck!” Aku berdecak kesal sambil melihat arloji di tangan.
Kucoba menghubungi Rani yang ternyata sudah berada di ruang tunggu keberangkatan. Nada bicaranya terdengar cemas saat menyapaku.

Beberapa teman ternyata sudah menghubungi dia untuk menyampaikan bahwa aku diseret-seret oleh Pak Ardhan.Terlalu berlebihan dan kesannya kejam sekali.

“Kamu dipecat ya, Dil?” Rani sangat perlahan bertanya.

“Belum sih, Ran. Nggak tahu deh. Ada dia sih.”

“Dia? Who?”

Tiba-tiba Pak Ardhan muncul dari toilet pria dengan wajah segar seperti habis mandi dengan rambut yang basah sebagian. Wanita yang berpapasan dengannya nampak terpukau, menoleh sambil mengulas senyum nakal.

Menjengkelkan, apa yang sedang mereka pikirkan tentang Pak Ardhan sebenarnya.

“Ayo, Sayang.” Pak Ardhan membuat kakiku mendadak kaku sehingga sulit digerakkan.

“Bapak mau ke mana?”

“Pulang. Sama kamu.”

Pak Ardhan menatap wajahku sambil mengulurkan tangan, menggenggam erat jemariku melintasi orang-orang yang berlalu-lalang. Langkah kakinya yang lebar-lebar membuatku sedikit sulit mengejar dan jujur saja, merasakan hangat genggaman tangan Pak Ardhan, membuatku jadi berpikiran dewasa seketika.

Stres.

Aku tidak tahu kapan dia membeli tiket namun saat berada di konter keberangkatan, ternyata kami akan berada di satu pesawat yang sama, bertiga dengan Rani. Pak Ardhan terus menggenggam tanganku sampai di ruang tunggu keberangkatan.

“Pak, ada Rani.”

“Kenapa memangnya kalau ada Rani?” Pak Ardhan mengenakan kaca mata hitam dan membawaku untuk menyapa Rani yang menatap dengan sorot mata bingung.

Perjalanan ke Balikpapan hari itu benar-benar penuh kejutan dan aku tidak mengetahui alasan sebenarnya kenapa Pak Ardhan harus ikut pulang bersama kami.

Semua di luar rencana, termasuk keberangkatan Pak Ardhan yang mendadak sampai-sampai dia belum mandi saat itu. Untung saja saat di dalam pesawat, tempat duduk kami tidak bersebelahan, tadinya.

“Ibu, maaf. Boleh kita tukar seat?” Pak Ardhan menghampiri ibu yang duduk di sampingku dan meminta izin dengan sopan.

“Tukar?” Ibu itu sedikit bingung, namun Pak Ardhan langsung menyodorkan dua batang coklat mente dengan sorot mata menyebalkan seperti biasa. Mengiba penuh kepalsuan.

Ibu itu jadi tidak enak setelah menerima coklat pemberian Pak Ardhan, sehingga mau tak mau bersedia untuk bertukar tempat duduk.

Ya ampun, orang ini ada-ada saja akalnya. Dasar Abunawas!

“Hai, ketemu lagi,” sapanya sebelum mengambil bacaan doa-doa di kantong bagian depan.

Mengulum bibirnya beberapa kali sambil sesekali menoleh ke arahku. Mengulas senyum yang seolah-olah mengajakku membahas sesuatu. Aku tak habis pikir bagaimana bisa dia meninggalkan pekerjaan dan juga anaknya di pulau Maratua.

GHOSTING (Terbit)✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang