[23] Dreams

2.2K 269 61
                                    

-

Gelan tak paham, kenapa Melan justru menangis sekarang. Saat ini keduanya sedang duduk di taman belakang sekolah, Melan membelakanginya dan justru menangis lagi.

“Jangan nangis,” ujar Gelan, meringis tak paham.

“Lo jahat, jahat banget.” Melan melanjutkan menangis.

Gelan meringis, semakin tak tahu harus berbuat apa. Cowok itu mengadakan pandangannya, memandang langit yang kelabu, sepertinya sebentar hujan akan turun.

“Ayo pulang, nanti kehujanan.” Gelan berdehem, bangkit duluan dari bangkunya, tangannya terulur kepada Melan yang sama sekali tak disambut gadis itu.

“Biarin,” jawab Melan membelakangi Gelan dan melanjutkan tangisannya. Samar-samar Gelan, mendengar gadis itu mengumpatnya.

Gelan menghembuskan nafas panjang, kembali duduk disamping Melan. Rintik-rintik hujan mulai turun, namun keduanya tak beranjak. Gelan melirik cewek itu yang masih menangis.

Gelan menghembuskan nafas panjang, cowok itu membuka kameja sekolahnya, meninggalkan kaos hitam polos disana, dan menggunakannya untuk menghalangi Melan dari hujan.

Melan tersentak, cewek itu menoleh dan mendapati Gelan sedang menutup kepalanya dengan kameja sekolah lelaki itu, menghalangi dengan tangannya sendiri. “Lo kehujanan.”

“Lo juga,” balas Melan memandang Gelan sayu, merasa bener-bener bersalah pada lelaki itu.

“Kita pulang?” tanya Gelan yang langsung dibalas anggukan Melan.

Gelan melepaskan pegangannya pada kamejanya, Melan refleks langsung memenang kameja Gelan yang menahan kepalanya agar tak jatuh.

“Ayo.” Gelan mengulurkan tangannya, Melan meraihnya dengan sebelah tangan yang bebas. Kemudian ikut berlari bersama Gelan dibawa guyuran air hujan menuju tempat parkir.

Bibir Melan tak tahan untuk tak tersenyum selama motor yang dikendarai Gelan melaju ke jalanan. Gelan tak pernah mengizinkan siapapun naik motornya, bahkan Melan yang dulu pun, tapi sekarang?

“MEL! MELANN!” suara teriakan disertai tepukan di pipinya membuat Melan mengumam kesal, namun perlahan-lahan dia tersadar satu hal; gadis itu membuka matanya, dan terkejut mendapati Jihan didepannya dengan wajah panik, dan sekarang dia masih ada di kursi lab kimia lebih tepatnya dia tertidur di kursi lab kimia sambil memegang sapu tangan Gelan.

Lalu? Yang sebelum-sebelumnya? Gelan berantem dan Kak Gito? Dibelakang sekolah? Hujan-hujanan diatas motor? Melan mengeleng, itu bukan mimpi semuanya nampak nyata!

“Ji, Gelan mana Ji—”

Jihan memotongnya dengan kesal. “Nggak usah nanyain Gelan bisa nggak sih Mel! Kenapa lo jadi sebucin ini!? Dia udah buat lo nangis bahkan sampai ketiduran di kursi lab kimia selama dua jam! Tahu nggak susahnya gue cari lo tanpa GPS!? Gue pokoknya harus bilang sama Kak Ichal!”

Melan mengeleng. “Gelan sama Kak Gito berantem?”

“Lo ngawur?” Jihan memandang Melan aneh. “Ayo pulang gila banget, elo mau disini sampai malam? Gue sih ogah.”

Melan tertatih-tatih mengikuti Jihan. Melan tertawa, masih tak menerima fakta bahwa semuanya hanyalah mimpi.

Melan menunduk, dia jadi sudah membedakan mimpi dan kenyataan karena Gelan ada dalam keduanya.

“Melan?” Jihan berbalik, melihat Melan yang tertinggal jauh dibelakangnya. Gadis itu berjalan sambil menunduk, bener-bener terlihat menyedihkan. Apakah Gelan memang sepengaruh itu untuk hidupnya?

Kenapa Melan malah terjebak dalam permainannya sendiri?

Siapa yang dari awal mencoba membuat Gelan jatuh cinta, kalau pada akhirnya Melan yang memakan umpannya sendiri.

Jihan membuang nafas panjang. “Are you okay?” tanya Jihan bener-bener khawatir ketika Melan sampai didekatnya.

Don't ask me that,” balas Melan sambil berjalan duluan. “Ji, kita makan dulu, kan?”

Jihan menganguk walau Melan tak melihat, kemudian keduanya berjalan menuju motor Jihan. Jihan merunduk, membatalkan pesan yang hampir saja terkirim ke Ichal.

Mungkin, Melan butuh waktu, untuk menerima semuanya; entah untuk memperbaiki hatinya terlebih dahulu, atau keadaan yang semakin runyam.

***

Hem?

01 September 2020.

Gelan & MelanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang