Tapi tetap saja ini akan membutuhkan waktu yang cukup lama. Sementara keadaan Aqilla semakin mengkhawatirkan sekarang. Dia sangat membutuhkan pertolongan medis secepatnya.

"Aisyah, lihat Aqilla! Dia mimisan, Syah.." Ucap Bunda dengan nada khawatirnya. Aku pun melirik pada Aqilla yang bersandar pada bahuku. Ternyata benar, hidungnya mengeluarkan darah yang membuat baju dan hijabku berwarna merah.

Aku bisa mendengar erangan kecil yang keluar dari mulut gadis kecil itu. Sedangkan kejang-kejangnya semakin menjadi-jadi. Bahkan suhu badannya semakin panas, sehingga dia mengeluarkan keringat dingin.

"Astaghfirullah! Ini gak boleh dibiarkan," Gumamku seraya menggeleng-geleng kepala saat melihat keadaan Aqilla.

"Maksud kamu apa, Syah! Jangan bilang kalau kamu_____" Belum selesai Bunda bicara, aku sudah memotongnya terlebih dulu. Karena memang dalam keadaan rumit seperti ini aku bisa lupa dengan kata --kesabaran--.

"Aisyah gak bisa nunggu Bund.. Aqilla butuh pertolongan secepatnya,"

"Tapi Syah.. Diluar kan gerimis, palingan sebentar lagi juga akan turun hujan deras! Kasihan Aqillanya," Bunda masih bersikeras mencegahku. Namun aku pun tak mau kalah keras kepalanya dari Bunda.

"Bunda harus percaya sama Aisyah ya, Insyaa Allah semuanya akan baik-baik aja.." Kataku berusaha meyakinkan Bunda.

Dan, Bismillah.. Aku melangkahkan kaki kanan terlebih dulu saat turun dari angkot. Kemudian mulai menelusuri bagian sisi-sisi jalan yang masih ada ruang untukku tempuh. Meski banyak hambatannya, namun harus tetap ku lalui.

Aku tak peduli dengan beban berat yang aku pikul dipundakku. Aku tak peduli dengan kakiku yang terasa penat dan sakit karena sudah terlalu banyak berjalan. Aku tak peduli dengan rasa haus yang sejak tadi tertahankan, karena memang saat ini aku sedang berpuasa sunah hari Kamis. Tapi sejak pagi hingga kini, kekuatan tenagaku benar-benar diuji sama Allah.

Aku sama sekali tidak masalah dengan semua itu. Karena sesungguhnya ujian selalu diberikan Allah pada setiap hamba-Nya yang mampu bersabar. Dan Insyaa Allah aku bagian darinya.

Tak terasa kini hujan telah turun menyirami bumi dan berhasil membuatku dan Aqilla hampir basah kuyup di tengah kemacetan. Aku melirik Aqilla yang masih kejang-kejang dan darah yang terus keluar dari hidungnya. Aku semakin memeluknya erat. Kakiku terasa melemah saat melihatnya. Aku sangat tidak tega dengan keadaan keponakanku saat ini. Sebelumnya dia memang sering sakit dan itu hanya demam biasa. Tetapi sekarang sepertinya tidak. Aku belum pernah melihat keadaannya separah ini.

Aku melihat lampu lalu lintas yang berwarna hijau itu telah menyala. Dengan serentak kendaraan yang berada paling depan mulai bergerak dan melaju, meski hanya dengan kecepatan dibawah rata-rata. Tapi itu lebih baik daripada tidak berjalan sama sekali dan macet semakin padat.

Aku berusaha berjalan lebih cepat lagi untuk menyusul mobil-mobil yang berada paling depan. Aku mengetuk-ngetuk pintu mobil orang-orang yang tentunya tidak aku kenal sama sekali untuk meminta bantuan. Tapi sayangnya sudah 6 orang pengendara mobil yang aku minta bantuannya, tidak satupun dari mereka yang berhati baik. Aku sedih mengingat keadaan keponakanku saat ini. Dia sedang sakit, tapi aku malah membawanya hujan-hujanan. Entah dimana letak hati nurani mereka, sehingga mereka tidak punya sedikit pun rasa kasihan saat melihat aku dan Aqilla meminta tolong dalam keadaan basah kuyup begini.

Tapi aku tidak akan menyerah begitu saja. Di deretan paling depan masih ada satu buah mobil yang belum aku ketuk kacanya. Dengan keberanian yang cukup, aku mengetuk kaca pintu mobilnya seraya terus berkata, "Pak, Pak.. Permisi Pak! Tolong saya! Keponakan saya sangat membutuhkan pertolongan saat ini, tolong ka________" Celotehku terhenti saat kaca mobil itu diturunkan oleh sang pengendaranya.

Dear, Imam KuWhere stories live. Discover now