17. Undangan

27 7 0
                                    

Pelajaran Sejarah sudah berlangsung satu jam lamanya dengan Pak Rizal yang terus mengoceh menceritakan masa-masa penjajahan di Indonesia.

Sudah berulang kali juga Arshel menguap karna bosan dengan kicauan yang keluar dari mulut Pak Rizal. Namun aneh nya, Zenith begitu antusias mendengarkan cerita guru berkumis seperti lele itu.

Beberapa kali ini Arshel menoleh kebelakang hanya untuk melirik Adena. Sebenarnya Arshel tak begitu penasaran dengan sikap Adena yang tak seperti biasanya, tapi lama kelamaan Arshel merasa risih setiap kali Adena menatap dingin kearahnya.

Bisa dihitung, dari tadi pagi Adena tak banyak bicara kepadanya. Mungkin hanya tadi pagi dikoridor, ya, hanya itu saja.

"Lo nya sih ngeselin."

"Hihi, gak loh. Lo kalah, siniin tangan lo."

"Jangan keras-keras tapi."

"Yaelah, santai aja kali. Pelan kok."

Arshel memutar tubuh dan kepalanya kebelakang menghadap bangku Viora dan Adena saat ia mendengar kedua gadis itu saling berbisik.

Arshel tersenyum, lebih tepatnya tersenyum kepada Adena. "Lagi main batu kertas gunting ya?" tanya Arshel dengan lirih agar Pak Rizal tidak bisa mendengar suaranya.

Mendengar itu, Viora dan Adena menghentikan kegiatannya lalu menoleh kearah Arshel dengan kompak. Viora menganggukkan kepalanya, ia meletakkan jari telunjuknya didepan bibir, lalu berbisik, "Sstt, jangan kasih tau ke Pak Rizal."

"Aman kok," ucap Arshel sambil mengacungkan kedua ibu jarinya.

"Gue boleh ikutan main gak?" tanya Arshel.

"Bol-"

"Gak usah, kita udah selesai," potong Adena dengan tatapan fokus memperhatikan Pak Rizal didepan kelas.

Arshel membelalakkan matanya, sedikit terkejut dengan jawaban Adena. Arshel hanya bisa mengangguk pasrah, lalu ia kembali memutar badannya kedepan.

Bukankah Adena tidak marah kepadanya? Arshel berusha meyakinkan dirinya jika Adena hanya badmood biasa.

Karna lelah memikirkan Adena, Arshel pun lebih memilih mencatat tulisan Pak Rizal yang sudah memenuhi papan tulis itu dibukunya.

Baru saja menulis beberapa kalimat, pulpen milik Arshel sudah kehabisan tinta. Padahal Arshel sudah meniup-niup ujung pulpennya itu, namun sia-sia juga.

"Jen, ada pulpen gak?" tanya Arshel pada Zenith yang asik menulis dibuku itu.

Zenith menggelengkan kepalanya tanpa menoleh kearah Arshel. "Tadi gue beli pulpen cuma satu."

Arshel mendengus. Pasti Adena punya, Arshel pernah melihat satu pak pulpen yang dibawa Adena kesekolah. Arshel pun memutar tubuhnya kebelakang.

"Den, pinjem pulpen dong," ucap Arshel setengah berbisik.

Adena menatap Arshel, diam-diam tangannya mengambil pulpen diatas meja lalu menyembunyikannya dilaci mejanya. Tentu saja Arshel melihat itu namun ia bersikap seolah tidak tau.

"Gak ada," ucapnya singkat lalu kembali menulis.

Viora yang melihat itu menatap Arshel dengan prihatin, kini tatapan Viora menjelajahi mejanya dan tangannya sibuk mengangkat setiap benda diatas meja nya itu. "Den, tadi kan disini ada pulpen? Sekarang dimana ya? Lo gak liat?"

"Nggak," jawab Adena singkat.

"Gue juga gak punya Shel," ucap Viora.

Arshel menghela nafasnya, lalu berdiri dari duduknya. "Yaudah deh, gue beli pulpen dulu."

ArshelanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang