Three Hero of Stella the Star Light

15 2 4
                                    

Jumlah kata : 2.081

Saat aku tengah mengumpulkan beberapa bahan-bahan di labirin bunga camellia putih, sebuah cahaya di langit muncul tiba-tiba. Dari cahaya itu jatuh dua pria yang tampaknya seumuran. Mereka terjatuh dengan estetik.

“Di-di mana kita?”

“Mana kutahu. Cepat minggir dariku, kau berat Gen!” Seorang lagi membentak orang yang bernama Gen tersebut. Dia mengenakan jubah indah layaknya seorang bangsawan.

Sepertinya aku tahu dia.

“Oh maafkan aku, Dice. Tapi terima kasih sudah jadi bantalanku mendarat.”

“Sialan.”

Mereka tampak akrab. Irinya.

“Jadi, di mana kita?”

“Tidakkah kau mendengarku bertanya demikian?”

“Ya apapun itu, ayo menjelajah dan temukan seseorang untuk bertanya.”

“Positif sekali raja kita ini.”

Mereka terus mengoceh sebelum akhirnya mereka berjalan. Mereka mengikuti jalan setapak yang dibentuk oleh bunga-bunga camellia ini.

Beberapa kali mereka melalui jalan yang sama. Apakah mereka sadar kalau mereka tersesat?

“Hei Gen. bukankah kita sudah lewat jalan ini?”

“Tampaknya begitu.” Gen terbungkuk memetik sebuah bunga camellia. “Kurasa bunga ini menciptakan ilusi yang membuat kita kebingungan.”

“Ah, aku pernah membaca hal itu. Jadi apa yang harus kita lakukan?”

“pengalamanku menjadi seorang bandit bilang kalau kita sebaiknya menutup hidung, agar nektar bunga yang mengandung ilusi ini tidak terlalu berefek untuk kita.”

“Oke dokie.”

Mereka kembali berjalan sambil menutup hidung. Kuakui, rencana si Gen itu cukup cerdas. Sepertinya aku pernah mendengar namanya.

Kutarik kalimatku barusan. Mereka ceroboh.

Mereka malah melangkah keperangkap yang kupasan untuk binatang angkasa liar -yang biasanya aku pakai untuk percobaan- dengan santainya.

“Jangan injak batu itu!” teriakku. Tapi terlambat. Mereka telah jatuh ke perangkap. Dan mereka sudah dikirim ke labku di bawah tanah.

“Hah, mereka menarik sekali.”

Dengan tergesa aku berlari menuju labku. Menyambut tamu baru di planet sunyiku ini.

****

“Ah lagi-lagi kita terjatuh,” kata Gen dengan santainya. Dia jatuh menimpa Dice, lagi.

“Mi-minggir, kau berat!” Gen cepat berdiri sebelum Dice mengamuk. “Kampret, kenapa aku yang paling sial disini?”

“Takdirmu?”

Sebelum pertengkaran kekanakan mereka dimulai, suara langkah kaki mengalihkan perhatian mereka.

Dari lorong yang gelap terlihat seorang anak kecil berambut merah muda dengan jas dokter kedodoran mendekati jeruji mereka.

“Apa kalian baik-baik saja?” tanya bocah kecil itu.

“Bocah?”

“Mou! Tidak sopan. Aku sudah 24 tahun!”

“Jangan bercanda. Kau terlihat seperti anak berusia sepuluh tahun.” Dice hanya tersenyum aneh menanggapinya.

“aku tidak menua karena hasil penelitianku empat belas tahun yang lalu.” Bocah itu menekan beberapa tombol di tabletnya untuk membuka kurungan mereka berdua.

Die Verhaal from Stella Where stories live. Discover now