Before Wisteria of Hysteria

11 1 5
                                    


Jumlah kata : 1.295

Hallo lagi semuanya. Apa kabar? Aku selalu berharap kalian selalu sehat dan baik-baik saja.

Baiklah tanpa basa-basi, aku akan mulai bercerita. Kali ini aku akan bercerita tentang anak-anak.

Semoga kalian menikmati.

-----------------------------------------------------------

Kau tahu, anak-anak itu sangat manis.

Aku suka anak yang bersikap penurut dan sopan. Seandainya aku punya anak seperti itu.

Tapi Tuhan memberiku takdir yang lain. Anakku tidak seperti mereka.

Aku disukai oleh anak-anak. Mereka selalu mendatangiku saat mereka milihatku. Dan selalu kuberi coklat saat mereka meminta. Mereka seperti semut yang mengincar gula.

Oh lihat itu. Ada anak baru yang pindah di daerah pabrik tempatku biasanya bekerja. Anak sepuluh tahun yang manis sekali.

Dengan rambut coklat yang bersinar dan juga dengan tubuhnya yang berisi, cocok sekali jika dia menjadi ballerina.

"Selamat siang," sapaku di suatu sore kepada keluarga itu.

"Oh selamat siang tuan," sang ayah menjawab.

"Namaku Toni Howard. Aku baru melihat kalian. Apa kalian baru di sini?"

"Salam kenal tuan Howard, namaku Tomas Hendrik." Dia menjabat tanganku. "Kau benar, kami baru pindah. Semoga kita bisa jadi tetangga yang akrab."

"Ah saya bukan orang yang tinggal di sini. Rumah saya di Silver River Street no.23. saya hanya sering kesini hanya untuk bekerja di pabrik saja."

"Wah sayang sekali."

Aku hanya menanggapinya dengan tertawa. Lalu aku melihat anaknya yang bersembunyi di punggung ayahnya. Lucu sekali.

"Hai nak," kataku sambil melihatnya. "Mau permen coklat?"

Aku menjulurkan beberapa permen cokalat. Dia terlihat takut-takut untuk mengambilnya.

"Lula, jangan begitu pada tuan Howard. Dia sudah memberimu permen, jadi sebaiknya kamu ambil," ayahnya menghelus kepalanya.

Namanya Lula ya? Manis sekali.

"Umm." Dia mengambil permen di tanganku lalu kembali bersembunyi di belakang ayahnya. "Terima kasih tuan Howard."

Ah, kurasa aku terkena serangan jantung.

"Sama-sama." Aku terseyum kepadanya. "Baiklah tuan Hendrik, saatnya aku untuk pulang. Sampai jumpa lagi."

"Tentu. Sampai jumpa lagi."

Lalu aku pulang sambil memikirkan tingkah manisnya. Apakah aku tahan sampai besok memikirkannya?

Biasanya aku hanya datang setiap hari senin hingga kamis saja. Namun demi melihat si manis Lula, aku datang setiap hari. Aku selalu membawakanya berbagai hadiah yang disukai anak-anak.

Die Verhaal from Stella Όπου ζουν οι ιστορίες. Ανακάλυψε τώρα