5 LIGHTS & LUTIFIA'S FOOT 1

Start from the beginning
                                    

Susi tersenyum masam. "Lalu bagaimana dengan mereka?"

Lutifia membalikkan badannya. Betapa terkejutnya dirinya mendapati adik dan sahabatnya menempati pola segi lima dari altar batu tulis. Ia sudah kehabisan kata-kata. Entah kenapa mereka semua begitu keras kepala. Sangat tidak mungkin mereka tidak tahu arti dari tumbal.

Semua pikiran buruk menjalar memenuhi otak Lutifia. Seperti hal buruk sudah terjadi, padahal ritualnya saja belum dimulai. Semua orang terharu dan memeluk anak mereka. Diaz terlihat usai menyeka air matanya. Semua mata di sana memperlihatkan perasaan haru dan terima kasih.

Peramal Mere dan Diaz sudah menempatkan diri di posisi semula. Para warga mulai tertib dan mengikuti rangkaian ritual. Lutifia masih belum kembali ke tengah altar, ia masih ragu. Bukan, lebih tepatnya dia takut ketika ritual selesai hanya dirinya yang kembali.

"Kami percaya padamu Tifa!" teriak Daya.

"Mari kita lakukan bersama-sama!" disusul Tere.

"Ayo! Apa yang kau tunggu, kami sudah siap." Dicki menambahkan.

Susi menepuk pundak Lutifia. "Jangan kau pikul beban berat di pundakmu sendirian, biarkan kami membantu juga. Lekas pergilah ke tengah."

Lutifia menetapkan hatinya dan berjalan ke tengah altar batu tulis. Peramal Mere dan Diaz menyanyikan kembali mantranya. Lutifia memejamkan mata sambil bergumam.

Kumohon biarkan mereka selamat kumohon kumohon kumohon!!!

Setelah mantranya selesai, rune pada batu tulis mulai menyala. Dari pinggiran altar kemudian merambat ke tengah. Nyalanya biru terang seperti warna pada telaga di dalam pohon leluhur. Cahaya rune mulai merambati tubuh keenam pemuda itu. Mereka tidak merasakan apa pun, namun rune itu terukir layaknya tato diseluruh badan mereka.

Lutifia terus bergumam dengan mata tertutup. Hembusan angin mulai terasa dari bawah kaki Lutifia. Altar batu tulis menyala terang sehingga keenam pemuda itu tidak dapat terlihat dan ada semacam angin yang mengelilingi altar. Banyak debu yang beterbangan. Membuat semua orang berjalan mundur menjauhi altar batu tulis.

Beberapa saat kemudian, Lutifia sudah tidak merasakan hembusan angin dari bawah. Ia malah mendengar suara cuitan burung. Lalu angin lembut dari segala arah menerpa dirinya. Ia tidak berani membuka mata, segala hal buruk masih berkelut di dalam pikiran gadis itu. Dalam kegelisahannya, terasa sebuah tangan yang sangat lembut menyentuh pergelangan tangannya. Lutifia terjingkat, ia mulai membuka mata ketika orang itu memanggil nama tengahnya.

"Zera."

Suaranya sangat lembut. Mata Lutifia menilai keseluruhan penampilan perempuan yang ada tepat di hadapannya. Rambutnya hitam pekat seperti langit malam, kulitnya putih langsat dan wajahnya terlihat cantik sekaligus menyegarkan.

Perempuan itu memakai baju hijau daun dan banyak rumbai sehingga rumbai tipisnya akan melambai-lambai jika terkena angin. Sungguh seperti seorang malaikat. Itu aneh untuk dirinya yang terpesona dengan sesama perempuan, tapi Lutifia tidak bisa menyangkalnya perempuan itu benar-benar seperti malaikat.

"Uhh ... ahhh, ya?"

"Akhirnya kau sampai juga, aku sudah menunggu lama," ucap perempuan itu.

"Umm maaf, apakah aku mengenalmu?"

Tak disangka perempuan itu malah tertawa. Lutifia berpikir keras, bagian mana dari perkataannya yang lucu? Apa memang dia yang tidak punya selera humor. Lutifia semakin tidak mengerti perempuan itu. Terlepas dari tawa perempuan itu, Lutifia baru menyadari dia berada di tempat yang sangat berbeda dengan sebelumnya.

Ia mengamati setiap detail dari tempat itu. Pohonnya rimbun, banyak bangsa pixie yang beterbangan kesana kemari. Di beberapa daun dan semak terlihat makhluk kecil hijau seukuran belalang daun. Bentuk badannya sama persis dengan para pixie tapi mereka tidak menyala. Ada beberapa dari mereka yang mengintip. Sangat ingin tahu juga ketakutan, Lutifia pikir itu sangat lucu.

Ada beberapa hewan yang bercahaya seperti para pixie. Lutifia hampir melupakan hal yang sangat penting, ia tidak melihat satu pun dari sahabatnya maupun Dicki didekatnya. Keringat dingin mulai membasahi kedua telapak tangannya. Wajahnya berubah menjadi pucat. Perempuan itu telah menghentikan tawanya setelah merasakan perubahan energi pada Lutifia.

"Aku Qea, nyanyian lumut sebelum dirimu. Kita sudah beberapa kali berbincang kan?" Qea menyeret tangan Lutifia lalu duduk di batang kayu besar tidak jauh dari tempatnya berdiri semula.

"Qea, di mana teman-temanku? Lalu apakah tempat ini dunia ruh? Kalau iya katakan padaku, apakah aku bisa mendapat kekuatan penuhku di tempat ini?"

"Mereka aman, karna kau yang telah mengamankan mereka. Kau benar ini dunia ruh."

"A-aku tidak melakukan apa pun. Bagaimana bisa? Hemph tak apa, asalkan mereka aman itu sudah cukup."

Qea bisa merasakan ke mana pandangan Lutifia ditujukan. "Mereka bangsa lilim, pelindung hutan. Kau juga bisa menjumpai mereka di midgard jika beruntung, mereka sangat pemalu."

"Aku baru pertama kali melihatnya. Kita kesampingkan dulu hal ini, katakan bagaimana aku bisa mendapat kekuatan penuhku?"

"Kau tidak bisa. Kamu sendiri yang memecah kekuatanmu menjadi lima dan menanamkannya di setiap jiwa temanmu. Yang tersisa darimu hanyalah sihir penyembuhan dari cabang Ygdrasil."

"Apa hal itu juga yang membuat mereka selamat dari ritual di altar batu tulis?"

Qea mengangguk.

"Itu berita baik, lalu di mana mereka?"

"Membentuk kontrak dengan roh yang berelemen sejenis. Kau sudah terkontrak denganku sejak aku pertama kali bertemu ibumu, kontraknya diturunkan."

"Kau ... roh? Lalu apa ada roh lain di sekitar sini?"

"Ya aku roh tanaman, walau dulunya manusia. Kau bisa menjumpai roh di mana pun. Para roh mengambil bentuk sesuka hati mereka, kadang dalam bentuk tanaman, hewan, atau bentuk sepertiku. Menyesuaikan elemen yang mereka miliki."

"Bagaimana bisa manusia jadi roh?"

"Aku spesial."

"Ada yang mengganjal pikiranku tentang tumbal untuk membuka gerbang dunia ruh. Apa itu perbuatan para roh di sini?"

"TIDAK! Kami selalu hidup damai. Kami tidak pernah meminta tumbal pada para mortal. Itu perbuatan Surt pemimpin di Muspellheim. Penduduk Muspellheim akan bertambah kuat jika memakan energi negatif dari para mortal. Kami tidak bisa merusak rune sihir yang dipasang oleh Surt. Tapi kau bisa Zera."

"Omong kosong macam apa ini. Aku mematahkan sihir Surt? Kalian saja tidak bisa, lalu bagaimana caraku mematahkannya. Sudahlah aku akan kembali."

Ketika Lutifia akan mengklikkan jarinya, Qea meraih tangan Lutifia dan melepas cicin giok hijau yang tersemat di jari tengah gadis itu. Lutifia melotot pada Qea. Qea menggenggam erat cincin itu dan merapatkan Kedu tangan. Seketika cahaya merah keluar dari kepalan tangan Qea. Batu cincin yang awalnya berwarna hijau berubah menjadi merah delima. Qea mengembalikan cicin yang habis direbut paksa olehnya.

"Insting kuatmu sangat keren. Kau tau apa ini? Ini adalah batu sihir roh. Di Midgard kalian biasa menamainya permata Eurika, batu ini hanya bisa dijumpai di kota Afrika Selatan. Batu ini akan berfungsi setelah dinetralisasi. Hal itulah yang tadi kulakukan. Ini bisa mengontrol kekuatanmu jika lepas kendali."

Lutifia melepas kalung perak di lehernya dan mengaitkan cincin merah delima itu dengan kalung dan menyematkan lagi pada leher rampingnya. "Terima kasih, Qea."

"Ingat Zera kita bisa terhubung, cukup sebut namaku jika ingin memanggilku."

"Yosh."

Catatan :
Rune : tulisan mantra sihir.
Pixie : sejenis peri kecil seperti thinkerbell tapi berwana biru dan tubuhnya menyala.
Mortal : fana (disini merujuk pada manusia)
Ygdrasil : pohon dunia
Lilim : bangsa penunggu hutan, mereka punya sayap seperti pixie, berwarna hijau.

NYANYIAN LUMUT : 5 Lights & Lutifia's FootWhere stories live. Discover now