HILANGNYA API 2

24 4 0
                                    

"Cincin di lehernya, apa itu tidak bekerja?"

"Aku juga tidak tau, maka dari itu aku meminta Tere memanggilmu. Kurasa, kita perlu mengekstraknya lagi."

Di atas, Diana melihat sulur tanaman yang menggeliat seperti tentakel Kraken. Ketika Dicki terjatuh dari angkasa, ia masih dalam keadaan menyeimbangkan badannya agar tetap bisa mengapung di udara. Dorongan Dicki begitu kuat sehingga membuatnya sedikit kesulitan mengontrol laju terbangnya. Pada saat ia hendak menghampiri Dicki yang terjatuh, lajunya terhenti dengan banyak sulur yang seakan ingin meraih dirinya. Matanya menangkap dua sosok roh agung, Qea dan Leasilvia.

Diana tidak bisa menemukan keberadaan Dicki, setidaknya ia berusaha untuk mendekati dua roh agung itu terlebih dahulu. Diana yakin ada sebab tersendiri mengapa Qea dan Leasilvia sampai dipanggil keluar dari dimensi rukh.

"Qea, Leasilvia? Kenapa kalian di sini? Dan ... ada apa dengan sulur-sulur ini? Aku yakin ini milik Tifa, apa yang dilakukannya? Tidakkah ia melihat Dicki terkena serangan Lyra tadi? Aku sedang mencari Dicki, tapi dengan sulur ini? Bagaimana bisa aku menemukannya?" Diana mengucapkannya tanpa bernapas.

Gadis itu terkejut saat melihat wajah Tere yang sangat pucat, tubuhnya juga bergetar. Tere bahkan tidak bergidik ketika ia datang.

"Tere!" Diana menggoyangkan tubuh Tere.

Cairan dari pelupuk mata Tere mulai berhamburan. Ia terus bergetar, rasa takut kian menjalari tubuhnya. Menggerogoti keberaniannya yang sejak awal tidak seberapa. Ekspesinya datar, potongan-potongan kejadian terus berkecamuk dalam benaknya. Andai saja dirinya lebih berani, pasti Lyra tidak sampai bisa menyentuh Dicki. Andai saja dirinya bisa menghujam burung es itu dengan jarum es sesaat burung itu terkapar di tanah, dan bukan malah bersembunyi di balik Lutifia. Tere merasa sangat tidak berdaya, seakan hanya beban saja dalam timnya. Guardian yang malah berlindung pada nyanyian lumut.

Menjadi kuat dan menjadi berani itu adalah dua hal yang berbeda. Pertempuran kali ini memang sangat berbeda dari sebelumnya, dua medan tempur terbentang di hadapannya dalam sekali waktu. Tere bertarung melawan monster-monster, di sisi lain, ia juga harus bertarung dengan dirinya sendiri. Melawan aura intimidasi yang terpancar dari tiap monster di medan tempur. Rasa pekat dan sesak terus saja meronta dan kapan saja bisa melahapnya hingga gadis itu rasa bisa kehilangan kendali diri.

*****

Satu, dua, tiga, empat, angka itu terus bertambah tanpa ia bisa hindari. Terus menghitung seakan menjadi satu-satunya pilihan bagi Anger. Demi apa pun, Kaisar yang baru saja duduk di singgasananya itu paling membenci orang yang sangat mudah kehilangan nyawanya. Ia tahu, untuk mati, itu bukanlah kesalahan. Walau bagaimana pun pria itu tetap membencinya.

Anger benar-benar kehilangan jejak Lutifia, bagaimana bisa, gadis yang awalnya berada tepat di depannya kemudian lenyap entah di mana. Ia mengikutinya ketika Lutifia melihat Dicki jatuh dari angkasa. Langkah kecil Lutifia begitu mudah Anger kejar meski berlari sekali pun. Pada kesimpulan itu pula Anger membiarkan Lutifia beberapa meter di depannya. Ia tidak menyangka gadis itu akan menumbuhkan sulur untuk menarik dirinya sendiri. Anger tergagap, menilik lajunya namun sejatinya sedang kehilangan arah. Matanya mengedar pada tiap orang yang mengacungkan pedang dan senjatanya pada monster es dan troll salju. Berharap menemukan sesosok bersurai hitam kelam bak langit malam yang temaram. Sebuah tindakan yang sia-sia.

Setiap langkah yang Anger ambil, setiap itu pula ia mendapati tubuh manusia yang siap menjadi bangkai. Ia tidak tahu kapan pertempuran akan berakhir. Tidak ingin ada pertumpahan darah, lebih lagi ia tidak ingin kehilangan Lutifia. Itu sangat membuatnya frustasi.

"Tifa! Tifa! Kau ada di mana?!"

"Pirang tampan, gadis itu akan baik-baik saja." Gate, pria yang sedari tadi diam mengikuti di samping Clara memperlihatkan raut tidak suka dengan tindakan Anger yang kehilangan akal.

Gate mempunyai firasat bahwa ini akan menjadi akhir yang buruk. Entah karena apa, tapi ia pernah merasakannya sekali ketika insiden bersama Samer dan Liana puluhan tahun lalu. Seakan baru kemarin ia mengalaminya, karena memang waktunya terhenti dan begitu pula dengan penuaan. Maka pria itu sangat familiar dengan situasi yang sama.

Tanpa prakata apa pun, indera Gate menangkap pergerakan ganjil dari dalam tanah, namun apalah daya sensornya kalah cepat. Sulur berduri tumbuh memenuhi seluruh zona tiga. Menghempas apa saja yang ada di dekatnya. Ketika penglihatannya mengudara, Gate mendapati Lyra tertangkap oleh salah satu sulur. Sulur itu memelintir tubuh burung es dari Niflheim hingga ia kehilangan beberapa bulunya. Pandangannya teralihkan dengan seseorang yang nggerang kesakitan. Gate mencoba mencari sumber suara, ia yakin bahwa pemilik suara itu berada di sekitarnya. Gate melangkahkan kaki untuk menghampiri seseorang berseragam biru tua khas seragam prajurit kekaisaran, orang itu memegangi kakinya erat.

"Kakimu terluka, kau harus segera diobati."

"Ka ... kakiku rasanya tercabik-cabik, Tu ... Tuan."

Gate menemukan beberapa sulur yang terlihat habis dipotong, lalu ia merobek celana bagian bawah sang prajurit. Ternyata tebakannya benar, sulurnya beracun. Kaki prajurit itu tampak biru legam, racunnya merambat sangat cepat. Pria itu diam sejenak, memperkirakan jarak tempuh menuju pohon penyembuh. Rasanya tidak mungkin prajurit itu bisa bertahan sampai sana. Kemudian ia mendudukkan prajurit dan mengangkat pedangnya ke udara. Memotong sebelah kaki parjurit itu yang terkontaminasi racun lalu mengikat di pangkalnya untuk mengurangi pendarahan.

"Prajurit yang di sana! Bawalah orang ini ke pohon penyembuh," teriak Gate pada dua orang prajurit yang melintas.

Gate sadar, racun pada sulur yang tumbuh tiada henti itu sangat berbahaya. Ia segera berkumpul kembali dengan Clara dan Anger yang tidak jauh dari jarak pandangannya.

"Baginda! Mari kita ke tempat yang aman! Saya dan para kelelawar tidak bisa bertempur sambil melindungi Anda yang seperti ini! Baginda! Ingat posisi Anda, keselamatan Anda adalah yang utama. Tolong mengertilah, Baginda!" Menajamkan matanya, kata-katanya penuh dengan penekanan, Clara layaknya berbicara pada patung yang bergelar Kaisar Amsta.

Gate menepuk pundak Clara, memberi isyarat bahwa wanita itu perlu berhenti, "percuma Nyonya Clara, anak itu sudah kehilangan akal."

Kedua alisnya terpaut ketika kata itu masuk dalam rungunya. Sosok pria kisaran dua puluh lima tahun dengan tinggi seratus enam puluh delapan centimeter terekam oleh retinanya. Membuatnya sedikit mendongak untuk menanggapi, namun Clara tahu sampai mana batas dari seorang bawahan pada tuannya. Ia terkesiap, bibirnya berucap seadanya, "Tuan Gate?"

"Serahkan sisanya padaku." Gate menarik garis bibirnya, senyum yang mengatakan kepercayaan kepada Clara.

Pupil mata biru angkasa itu memperhatikan laki-laki dua puluh lima tahun berlarian tak tentu arah. Ia tidak peduli dengan sulur-sulur beracun yang memenuhi sekitarnya. Membuat Gate di ambang batas kesabaran.

NYANYIAN LUMUT : 5 Lights & Lutifia's FootTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang