KEMBALI KE DESA SAWAR

19 3 0
                                    

"Sial! Ada apa dengan anak ini?" Diana masih saja bicara tanpa berhenti, bahkan ia masih melanjutkan kalimatnya yang barusan.

Tere yang sedari tadi diam menatap kosong tanpa respon lebih, sebenarnya dalam kepala gadis itu sedang berkecamuk serangkaian kejadian beberapa menit yang lalu. Jantungnya seakan berhenti berdetak, air mata tidak jatuh setetes pun. Gadis itu merasa sedih, namun sudah lupa bagaimana cara berekspresi. Rasa terkejutnya mendominasi, memikirkannya lagi, ia tidak berhenti bergetar.

Ia menyaksikan bagaimana awal mula semua itu terjadi. Jika menilik lagi, bahkan gadis itu masih ingat betul saat menarik kembali ke Desa Sawar. Ya, semua berawal dari sana. Seakan tubuhnya di penuhi luka biru legam dan rasa pegal yang baru Tere rasakan sekarang. Perjalananya begitu panjang dan tanpa henti, dihujam, ditekan dan dipaksa oleh emosi-emosi yang orang sekitarnya munculkan.

Sudah...
Sudah...
Cukup, tolong ini sudah cukup...

Sayangnya semua kejadian buruk itu tidak berkesudahan, sampai akhirnya Tere menyaksikan kemalangan lain. Memang dunia sudah lama ditimpang kemalangan, tetap saja rasanya tidak adil. Si perusak mendapatkan yang ia mau, si penyembuh kehilangan yang ia butuh. Namun karma sang perusak ditanggung di pundak semua orang. Generasi kakek-neneknya membuat bumi rusak. Setelah datangnya karma dan penyesalan, generasi baru mulai berusaha menyembukan, bahkan yang sedang ia dan temannya lakukan sekarang adalah salah satu upayanya. Tapi apa yang Tere dan temannya dapatkan? Mereka kehilangan segalanya. Sesuatu yang sangat dibutuhkan telah lenyap.

Retinanya merekam seluruh kejadian secara jelas. Tere hanya mengekor di belakang Lutifia sampai gadis itu tiba-tiba menumbuhkan sulur yang mengikat tubuh sahabatnya itu. Tere berhasil meraih sulur yang ditumbuhkan Lutifia. Otomatis tubuhnya juga ikut beralih tempat.

Melihat kaki gontai Lutifia melangkah mendekati tubuh Dicki yang terbaring di atas tanah bersalju. Tere masih duduk bersimpuh ketika Lutifia mulai berlari asal-asalan, sangat jelas kaki gadis itu tidak ada tenaga sama sekali, namun Lutifia masih memaksa sekuat tenaga. Sekejap pula Tere mendengar gadis itu berteriak parau.

Bola matanya melebar, keringat dingin mulai merambati dari ujung jari ke seluruh badan Tere. Napasnya tersenggal seperti ada yang menyumbat di pangkal tenggorokan. Oh, tidak. Tere menahan napas ketika tubuh Dicki hangus menjadi abu. Ingin sekali dirinya berlari memeluk tubuh Lutifia, setidaknya kehadirannya bisa membuat Lutifia lebih tegar, namun sayang kakinya tidak dapat digerakkan. Tere hanya bisa menangis di tempat saat itu. Gadis itu segera menyeka air matanya. Selang beberapa menit dalam suasana putus asa tersebut, Tere menyaksikan ribuan sulur berduri keluar dari dalam tanah bersalju. Ia tahu Lutifia hilang kendali, lebih-lebih ia tidak tahu harus berbuat apa dalam situasi itu. Tubuhnya semakin bergetar, sampai pada Qea menemuinya lalu disusul datangnya Diana.

"Diana, panggil Syphid segera." Qea memotong kalimat Diana yang masih bicara sendiri mengeluh tentang Tere.
"Baiklah, tapi untuk apa?"

Serigala air di sebelah Qea mulai berdiri. "Sahabatmu sedang mengamuk di sana, nak."

Diana mengedarkan kepalanya tiga ratus enam puluh derajat, gadis itu menemukan sosok Lutifia dengan mata hitam pekat. Retina berwarna biru laut milik 'nyanyian lumut' telah sirna seutuhnya. Diana bergidik ngeri melihat raungan Lutifia di tengah ribuan sulur berduri yang menggeliat mengelilingi sahabatnya itu. Ia tidak tahu harus berbuat apa, menurut penuturan Qea sulurnya beracun. Untuk menuju Lutifia, bahkan sulur di dekat gadis itu terlihat lebih mengerikkan dibanding sulur di tempat lain.

"Tifaaaa...! Kau sedang apa? Hentikan sulur ini!" Diana berteriak kepada Lutifia, namun tak ada tanda-tanda sahabatnya itu mendengarkan.

Qea menghela napas kesal. "Oh astaga, pantas saja Tifa selalu kesal pada anak ini. Dia benar-benar bodoh."

NYANYIAN LUMUT : 5 Lights & Lutifia's FootWhere stories live. Discover now