5 LIGHTS & LUTIFIA'S FOOT 1

127 31 35
                                    

"Humm jadi seperti itu. Baiklah peramal Mere mari kita coba." Ketua suku mengangguk-anggukkan kepalanya.

Semua orang berkumpul melingkari altar batu tulis. Dicki merapatkan giginya hingga terdengar suara geratan. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Perasaan itu sangat membuncah memaksa ingin keluar. Sesekali terbesit dikepalanya keinginan untuk membawa kabur Lutifia, namun pikiran itu seketika ditolak dengan niat lain, yaitu kekuatan untuk menggertak negara Amsta.

Ketika peramal Mere mempersilahkan Lutifia memasuki lingkaran altar, tubuhnya menegang. Kakinya gemetar dan langkahnya pun terbilang pendek. Tepat di tengah altar Lutifia menghentikan langkah. Di bawah kakinya ada gambar jejak kaki yang secara kebetulan ukuran itu sangat pas dengan telapak kaki miliknya.

Tanpa menunggu lama, peramal Mere segera melafalkan mantra menggunakan tongkat yang tiba-tiba muncul di genggaman tangannya. Diaz sedari tadi hanya melihat ke arah peramal Mere, seperti menunggu sinyal darinya. Benar saja, setelah nenek tua itu mengeraskan suara seraknya yang khas, Diaz mulai mengambil posisi dari penonton menjadi pelaksana.

Gadis dengan satu lengan itu berdiri tepat di belakang Lutifia dan peramal Mere di depan. Mereka mulai menyanyikan mantra lain. Lutifia tidak tahu apakah itu memang keunikan mantra dari suku itu atau memang ada sebab lain, tapi mantranya sangat panjang.

Setelah beberapa saat, mereka pun berhenti melafalkan mantra. Peramal Mere dan Diaz memasang raut wajah kebingungan. Seperti sedang berkode, peramal Mere menatap kepala suku. Mereka berkumpul dan mendiskusikan sesuatu menggunakan bahasa mereka. Samer bergabung ketika merasa ada yang tidak beres.

"Apa ada yang salah?" tanya Samer pada ketiganya.

"Altar batu tulis tidak merespon sama sekali padahal mantra kami sudah sempurna. Apa karena itu ..." Diaz tidak menyelesaikan ucapannya sehingga membuat Samer semakin bingung.

"Katakan apa itu?"

"Pemberiannya tidak setara. Syaratnya kurang. Kukira kita sudah tidak membutuhkannya karena ini Tifa, nyanyian lumut. Ternyata aku salah perhitungan, maafkan aku ketua suku." Peramal Mere membungkuk di depan ketua suku.

"Angkat kepalamu Peramal Mere, di sini posisimu tetua tolong pertimbangkan itu. Tidak ada pilihan lain, kita lakukan saja seperti biasa."

Ketiga orang itu sangat kebingungan. Diaz menggigit kukunya berkali-kali. Sebenarnya ia tidak sanggup melihat ada pengorbanan lagi. Akan sangat sulit mencari tumbal, pastinya ada penolakan dari orang tua si anak, apalagi di situasi yang serba mendadak seperti ini.

Sambil terus menggigit kukunya, Diaz mengamati orang-orang yang berkumpul di altar batu tulis. Menimbang berapa anak dan pemuda yang tersisa di desanya, hanya bisa terkumpul empat. Tumbal terakhir, ia tidak yakin akan mengambil anak itu. Bayi yang baru saja lahir seminggu yang lalu, tidak mungkin juga ia mengambilnya secara paksa. Tidak ada pilihan lain, Diaz meminta ketua suku untuk berbicara dengan orang tua dari bayi itu secara langsung.

Derai air mata pun pecah dari sepasang suami istri yang melepas gendongan bayinya kepada peramal Mere. Keempat anak dan pemuda sudah menempati tempatnya mengelilingi Lutifia, terakhir peramal Mere meletakkan bayi itu mengikuti bentuk segi lima yang belum sempurna. Lutifia tahu apa itu artinya. Dengan langkah panjang Lutifia berusaha menghentikan peramal Mere.

"Cukup sampai di situ peramal Mere, aku yang akan menggantikannya." Susi menghentikan tangan peramal Mere yang sudah satu kepalan dari lantai altar batu tulis.

Lutifia yang sudah dekat langsung mendorong tubuh Susi menjauh. "Apa kau sudah tidak waras Susi Liyer? Jangan libatkan dirimu! Aku tidak butuh kekuatan atau apalah itu!"

NYANYIAN LUMUT : 5 Lights & Lutifia's FootWhere stories live. Discover now