PEMUKIMAN DI BALIK KABUT

7 3 0
                                    

Arif telah kembali ke negaranya. Momen pelepasannya sangat dramatis di pelabuhan Whitesails. Sembilan kapal armada Malait itu pergi dengan gagah. Pelabuhan dihias sedemikian rupa, banyak warga yang melambai-lambaikan tangannya menggiring kepergian kapal. Seluruh orang penting Amsta juga ikut menjadi salah satunya, termasuk Anger.

Di sisi lain, Lutifia tengah duduk di ranjangnya seperti biasa. Arif pagi-pagi sekali berpamitan dengan Lutifia. Tidak banyak yang bisa gadis Desa Sawar itu lakukan dengan kakinya yang masih diperban. Ia hanya duduk di ranjang sambil membaca novel bersampul dominan cokelat yang diberikan Daya kemarin. Semua orang sedang mengantarkan Arif di pelabuhan. Archduke Alterino dan istrinya masih tinggal di istana, menemani anaknya yang kemungkinan butuh dukungan moral. Itu sangat membantu bagi Anger, dalam berbagai hal. Tidak bisa dipungkiri, Archduke telah berpengalaman dalam mengelola sebuah wilayah. Maka kehadirannya di istana sangat membantu. Tetap, Archduke dan istrinya akan kembali ke kediamannya. Itu hanya masalah waktu.

*****

Empat hari berlalu, Lutifia sudah sembuh sepenuhnya. Rombongannya segera mengepaki barang-barang, khususnya anak buah Samer. Gate ikut andil di dalamnya. Lutifia hanya membawa tas punggung yang di dalamnya berisi pakaian ganti dua helai, novel, kue kering dan air. Ia tidak mempunyai barang berharga. Guci abu Dicki ia letakkan di dalam peti kecil untuk menghindari guncangan. Ia juga membawa pedang kembar saudaranya dalam peti mati mengkilat seukuran satu meter lalu mengaitkannya pada salah satu pundaknya.

Tidak lupa set belati ia ikatkan di paha, menyelipkan beberapa di sepatu bootnya. Wajahnya terlihat natural. Tanpa hiasan seperti di pesta yang lalu. Mengambil sisir di dekat laci meja kamarnya, lalu membuat rambutnya seperti kuncir kuda. Gadis itu telah siap,  ia menarik gagang pintu. Mantap melangkahkan kakinya.

Astaga!

Lutifia terperanjat ketika Anger berada tepat di depan pintu kamarnya. Membuat ransel peti mati di pundaknya sedikit melorot. Ia segera membenahi posisi.

"Uh, Tifa...sebenarnya aku...aku, um itu..." kata Anger, sedikit salah tingkah.

Lutifia terkikik melihat ekspresi yang dimunculkan Anger. "Ada yang bisa saya bantu, Yang Mulia?"

"Eh, tidak ada."

"Atau ada yang Anda bantu untuk saya?"

Anger merubah ekspresinya menjadi penuh tanya. "Membantu apa? Kau sedang kesulitan?"

Lutifia menggeleng sambil menahan tawa yang sudah di ujung. "Membawakan peti ini ke kereta kuda misalnya."

"Ahhh."

Anger segera mengambil peti dari tangan Lutifia. Ia sebenarnya hanya ingin melihat wajah gadis itu sebelum ia pergi dalam jangka waktu lama. Keduanya berjalan di lorong istana, menuju kereta kuda yang akan ditumpangi Lutifia.

"Kau sungguh akan pergi, Tifa?"

Lutifia mengangguk mengiyakan.

"Kau yakin tidak ingin tinggal? Aku akan memberikan fasilitas terbaik. Sungguh. Jika kau ingin ketenangan akan kubuatkan istana baru yang lebih tenang, sedikit pelayan akan lebih baik. Atau kau ingin baju? Permata? Apa pun. Akan kuberikan segalanya, kau cukup berada di sisiku. Itu saja."

Lutifia menggeleng sekali lagi. Mata biru lautnya sayup-sayup berkorelasi menyepadankan dengan sensor otaknya untuk memberi alasan pada Anger, bahwa pria dua puluh lima tahun itu harus berhenti. Agar pria itu melepaskannya dan itu yang seharusnya Anger lakukan.

"Anger, aku senang dengan kebaikanmu itu."

Lenggang. Suara langkah kaki keduanya mengisi kekosongan. Sesekali mereka berpapasan dengan prajurit yang sedang berpatroli keliling istana.

NYANYIAN LUMUT : 5 Lights & Lutifia's FootWhere stories live. Discover now