I. Ayo Menikah (I)

1.1K 107 32
                                    

Perempuan bersurai panjang dengan warna kecokelatan sedang berkutat dengan laptop dan tumpukan buku tebal di meja belajarnya. Rambut panjangnya yang tergerai begitu saja menutupi sebagian wajahnya. Kacamata bulat dengan bingkai tipis bertengger di hidung, membantunya lebih fokus pada layar beradius tinggi tersebut. Matanya berkeliaran di antara beberapa buku dan kembali ke laptop. Jemarinya dengan lincah bermain di atas keyboard. Sebagai peneman, sebuah permen bertangkai berdiam di mulutnya. Di samping kakinya terdapat tong sampah yang berisikan puluhan bungkusan permen.

Ia menggaruk kepalanya dan sesekali mengacak rambutnya saat tidak tahu lagi kalimat apa yang harus dituangkan dalam tulisannya. Kesal dengan situasi, ia mengembuskan rambut bagian depannya, hingga menampakkan wajah cantiknya. Matanya biasa disebut senpaku dengan bulu-bulu lentik meski tidak terlalu panjang. Hidungnya mancung kecil. Bibirnya mungil dengan deretan gigi yang rapi.

"Apa kamu nggak lelah dari tadi duduk di depan laptop?" Suara seorang perempuan yang lebih tua di atasnya empat tahun terdengar. Perempuan itu melemparkan tubuh kurusnya di atas ranjang yang sudah terpasang rapi seprai krem bermotifkan koala.

"Akan lebih melelahkan kalau aku nggak menyiapkannya sekarang," jawabnya yang masih membolak-balikkan buku.

"Udah bab berapa?"

"Bab satu."

"Lama banget. Perasaan udah dari tiga bulan lalu kamu bab satu terus. Kapan naik step?"

Ia menutup buku tebalnya dengan kasar. "Apa Kakak tahu gimana usahaku sampai bisa di tahap sekarang? Panjang. Aku udah melalui dua puluh kali lebih penolakan judul. Saat judulku diterima, aku harus melalui revisi sampai puluhan kali. Aku sampai bingung apalagi yang harus kutulis agar aku berhenti dari kata revisi. Semestinya Kakak mendukungku dengan menyuguhkan cemilan atau sekedar kata-kata sampah yang seakan memotivasiku. Bukan mempertanyakan hal yang membuatku kesal," cerocosnya panjang lebar.

"Ya, maaf. Gitu aja bawel. Tapi, aku bingung sama kamu. Kamu, kan, suka nongkrong di perpustakaan, kenapa nggak dapat ide apa-apa untuk mengisi skripsimu itu?"

"Emang siapa yang bilang aku di perpustakaan belajar?"

"Nggak perlu ada yang bilang juga semua orang tahu kalau perpustakaan itu tempat belajar. Emang kalau bukan untuk belajar, kamu ngapain di perpustakaan?"

"Tidur."

"Grizelle!! Benar-benar keterlaluan, ya, kamu. Kamu buang-buang waktumu selama tiga tahun di perpustakaan cuma untuk tidur? Nggak ada hal yang lebih berfaedah untuk kamu lakukan selain tidur?"

"Kakak Birdella-ku sayang. Kakak tahu nikmat apa yang paling nggak bisa dihindari? Saat kita bisa tetap bernapas meski mata terpejam. Dan aku mensyukuri hal itu," ucapnya sambil tersenyum dan kembali membalikkan badan menatap layar berukuran 14 inch itu.

Birdella kehabisan kata menjawab adik semata wayangnya.

"Apa kamu akan melewatkan makan malam kali ini?" tanya Birdella.

"Jika Kakak nggak ingin aku melewatkannya, bukankah Kakak akan mengantarkanku makanan ke kamar ini?" tanyanya yang berbentuk perintah.

"Kebiasaanmu nggak pernah berubah. Beginilah jadinya kalau dari kecil udah dimanja. Makan pun harus diantar ke kamar. Kalau dalam dongeng mungkin kamu akan menganggap dirimu seorang putri. Tapi, nyatanya yang makan di kamar itu adalah orang sakit!"

"Kakak menyumpahiku?"

"Aku nggak menyebut tentang sumpah."

Grizelle menatap kakaknya menggunakan ujung mata, hingga Birdella hilang setelah menutup pintu.

Mantan SepelaminanWhere stories live. Discover now