Sepuluh - Beku yang Tak Sengaja Dicipta

48 11 11
                                    

Jangan lupa follow, vote, dan komen, ya gengssss!

Happoy reading!

―――――――――――――

M A H A T R A menyadari sikap aneh Ara selama perjalanan. Hanya saja, ia tidak mau banyak bertanya. Apalagi Ara sudah tertidur di sebelahnya. Ia melirik Aksar lewat kaca mobil. Anak itu hanya menoleh ke samping. Suasana mobil pun kembali terasa hening.

"Tra! Aku mau tanya. Dia teman kamu? Teman kelas atau bagaimana?" tanya Aksar menunjuk Ara dengan bola matanya.

"Baru dekat juga, sih. Dia jarang berbaur. Dia siswi pindahan dari Jakarta," jawab Mahatra.

"Pindah? Kapan dia pindahnya ke Pelita?" tanya Aksar penasaran.

"Kamu, kok, jadi kepo. Ya, iya. Dua bulan lalu. Di Pelita enggak sekelas. Dia ada di bahasa A."

Aksar kembali diam sembari memperbaiki duduknya. Banyak sekali pertanyaan yang melintas di benaknya. Termasuk alasan pindahnya Ara ke Makassar dan yang penting, kenapa tubuh Ara berubah drastis. Dulu Ara tidak sekurus ini. Apa karena pengaruh kepergiannya dulu? Kalau saja iya, sungguh merasa bersalah dirinya.

Aksar kembali berpikir-pikir. Jika semesta kembali mempertemukan mereka berdua, Aksar tak lagi paham, skenario seperti apa yang sedang ia jalani. Sungguh ia tak punya muka lagi untuk berhadapan dengan Ara setelah ia menyakiti perempuan yang ia sangat sayangi itu. Ia sengaja pindah ke Makassar, bukan di ibukota, tepatnya di rumahnya. Tak lain karena ingin menghindari pertemuannya dengan Ara jika sewaktu-waktu memang keduanya memang dipertemukan di Jakarta.

Namun, takdir malah berkata lain. Bukannya menghindar, ia malah dipertemukan kembali. Meski di hati kecilnya, ia sangat merindukan perempuan yang tengah terlelap itu. Hanya saja, saat matanya tak sengaja bertubrukan tadi, kilat luka begitu menyambar relung hati Askar. Ia sadar, memang tak sepantasnya Ara akan menyambut kehadirannya lagi. Apalagi setelah dulu, ia sudah memberikan Ara harapan yang sangat besar untuk selalu bersama ke depannya.

Ia menghela napas. Gelisah. Jelas. Bagaimana ia akan bersikap setelah ini?

"Kamu kenapa, sih, Sar? Kayak gelisah begitu. Ada yang ketinggalan atau gimana?" tanya Mahatra yang tak sengaja melihat gurat gelisah di wajah sepupunya itu.

"Nope. Aku cuma kelelahan," jawab Aksar sekenanya. Toh, tak bisa dipungkiri, badannya juga letih karena habis perjalanan jauh.

"Eh, wajar, sih. Jerman ke Indonesia itu nggak dekat. Berapa kali transit tadi?"

"Dua. Turki terus Singapura. Eh, tiga, deng. Kan, di Jakarta satu kali," jawab Askar.

"Hm. Mau makan dulu, nggak? Ini udah dekat mal. Tapi kasihan juga kalau mau bangunin Ara," tawar Mahatra.

Aksar melihat ke luar jendela. Mereka sudah berada di pertengahan jalan menuju ke rumah Mahatra. "Enggak usah, deh. Nanti pas sampai rumah aja."

"Oke."

Dua puluh menit kemudian, mobil Mahatra sudah sampai di depan rumah yang bercat abu-abu.

"Kok, berhenti?" tanya Ara yang sudah terbangun dari tidurnya, namun belum sepenuhnya sadar.

Mahatra menoleh sekilas, "Kita udah sampai. Tapi di rumahku dulu enggak masalah, kan? Nanti aku nganterin kamu pulang."

GEMINTANG AKSARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang