5. Pelukan Mas Farhan

2.9K 301 1
                                    

Halo semua. Cerita ini belum diedit secara keseluruhan ya. Jadi mohon maaf apabila ada keganjilan sehingga membuat kalian merasa kurang nyaman dalam membacanya.

BTW part ini memang kurang nyambung dengan inti cerita. Tapi setelah masuk bab pertengahan atau mungkin bab konflik, kalian akan jadi paham kok.

Oke selamat membaca.

Gue berjalan dengan mengernyit. Gue sedang membayangkan kalau tiba-tiba gue berubah menjadi sosok yang sangat ramah. Bisa dikira kurang obat gue nanti.

Setelah berjalan beberapa menit, akhirnya gue sampai juga di ruangan tercinta. Dengan segera gue bersandar di bantal punggung kursi. Rasanya nyaman banget. Gue juga berusaha untuk memejamkan mata. Di ruangan ini hanya ada gue, Mba Rena, dan Mba Safa. Mungkin Mba Nana sedang ke gudang, sedangkan Mba Ina pasti sedang di pantry. Kalau Mak Lampir mungkin sedang berada di planet Mars dan Pak Syamsul gue nggak tahu beliau lagi dimana.

"Enak banget ya..udah balik telat, eh sekarang malah sender-senderan. Ini laporan DL direvisi". Gue yang sedang bersantai-tiba-tiba merasakan jantung gue berdetak lebih cepat. Gue pun segera membuka mata dan duduk dengan tegak. Di sebelah kiri gue, Mak Lampir sedang berkacak pinggang.

"Loh memang salah bu?' Ucap gue sambil berusaha mengingat dimana letak kesalahan gue.

"Pakai tanya lagi. Itu kenapa kamu masukkin biaya konsumsi lagi. PDLKM itu termasuk uang makan Sasya. Kamu pikir mereka yang berangkat itu manager?" Mak Lampir membentak gue.

"Loh bu kan mereka buat laporannya begitu. Saya kan cuma bantu input". Gue berusaha menatap Mak Lampir dengan tajam. 'Seenaknya saja dia nyalahin gue'.

"Kamu itu pernah nggak sih buat laporan perjalanan dinas? Dulu kuliah ngapain saja? Mana ada yang begitu! Laporan keuangan itu harus detail. Jelas penggunaan uang perusahaan itu untuk apa saja. Kamu nggak bisa asal masukkin angka. Heran saya-kenapa dulu Pak Syamsul bisa terima kamu yang nggak bisa kerja ini sih!" Gue mengedarkan pandangan sambil berusaha menahan tangis. Terlihat Mba Rena dan Mba Safa sedang berpura-pura fokus dengan pekerjaan mereka.

"Iya bu maaf". Gue berucap dengan sangat lirih.

"Secepatnya direvisi. Jangan santai saja bisanya kamu. Lima belas menit saya tunggu". Dengan segera gue menyalakan kembali komputer dan mulai memperbaiki kesalahan yang gue perbuat.

Gue bergegas menuju meja Mak Lampir yang terletak bersebelahan dengan ruangan Pak Syamsul setelah menghabiskan waktu sekitar dua puluh menit. Terlambat lima menit dari waktu yang diberikan. Ya sudahlah kalau memang gue kena semprot lagi. Pasrah saja.

"Bu ini revisinya". Gue menyerahkan laporan dengan hati harap-harap cemas. Nangis gue benaran kalau sampai kena semprot lagi.

Gue melihat Bu Riri alias Mak Lampir sedang meneliti laporan yang gue buat dengan wajah menahan kesal. Gue merutukki diri sendiri. Banyak suara di kepala gue yang mengatakan kalau gue itu bodoh, ceroboh, pemalas.

"Ini apalagi Sasya? Ini laporan biaya penginapan kok dipisah sih? Harusnya digabung".

"Loh kan biar nanti dana kekurangannya ditransfer secara adil ke masing-masing rekening bu. Kalau di satu orang saja-kalau yang menerima tidak berbagi karena merasa uangnya juga banyak terpakai bagaimana bu?" Jatuh sudah air mata yang sejak tadi berusaha gue tahan sekuat tenaga. 'Ya ampun cengeng banget sih gue. Dasar mental lemah. Gini saja pakai nangis segala'.

"Revisi lagi. Makanya kalau kerja itu yang bener". Ucap Bu Riri sambil melempar map laporan ke arah gue.

"Sabar ya sya. Kita tahu maklum kok sama kamu. Yang namanya baru pertama kali kerja, pasti memang banyak melakukan kesalahan". Mba Rena mengelus punggung gue. Gue tersenyum samar menanggapi. Daripada gue disemprot lagi, lebih baik gue segera merevisi lagi laporan tadi. Mba Rena sudah kembali ke mejanya. Sadar kalau dia terlalu lama menenangkan gue, bisa-bisa dia kena semprot juga.

Setulus Cinta Pak RTWhere stories live. Discover now