Prolog

11.7K 605 28
                                    


Jumat adalah hari yang paling membuat gue bahagia. Kalian pasti ngerti kan ya? Hari terakhir kerja yang biasanya tidak terlalu sibuk, jam istirahat juga lebih lama dari biasanya. Saat gue sedang menyender di kursi malas yang empuk tiada tara, tiba-tiba Manager gue, Pak Romeo masuk ke ruangan. Secara otomatis-gue kembali menegakkan tubuh dan berpura-bura memperhatikan komputer. Padahal gue cuma buka tutup dokumen saja. Semua tugas sudah selesai sejak tadi.

Saat si bapak atasan berjalan ke arah gue, bersiaplah gue membuka sebuah dokumen yang biasa menjadi tugas gue. Sebelumnya perkenalan dulu ini. Gue Sasya Andriana. 22 tahun. Bekerja sebagai Staf Admin di sebuah perusahaan pembuatan Tower untuk listrik ataupun sinyal. Jobdesk gue banyak. Kadang jadi admin produksi, pembuatan surat perintah kerja, admin pengiriman, buat laporan pertanggungjawaban perjalanan dinas luar, sampai dijadiin kurir buat anter dokumen ke divisi lain di kantor pusat yang letaknya lumayan jauh dengan kantor produksi. Apa saja gue lakukan. Maklum-gue masih junior di sini.

Baiklah cukup sekian perkenalannya. Gue menoleh sedikit ke arah teman-teman gue, sepertinya cukup aman. Mereka juga sedang membuka internet yang ada di komputer kantor. Setidaknya bukan gue saja yang lagi nganggur.

"Sya, bagaimana progres pacar? Sudah dapat?" Gue menoleh secara refleks ke arah atasan gue yang sedang duduk di kursi yang dikhususkan untuk tamu di sebelah kiri gue-sambil menatap ponsel pintarnya.

"Doain saja pak hehe". Gue cuma bisa nyengir saja. Mau jawab apa lagi memang?

"Lu mah sya. Apasih yang lu cari sebenernya? Lu mah pengennya yang mirip artis kali ya?" jawab si bapak sambil menertawakan nasib percintaan gue.

"Bapak bantu saya cariin atuh!" Sengaja gue tekankan pakai tanda seru. Biar si bapak paham kalo gue jomblo bukan karena keinginan, tapi takdir yang belum berpihak saja sama gue.

Bukannya marah karena gue berbicara pakai nada tanda seru dengan atasan yang jelas jauh lebih tua, eh beliau malah semakin nyengir. "Saya heran sama kamu. Kalo sama sekali gak ada yang mau sama kamu mata mereka rabun kali ya. Masa sih gak ada yang mau sama sekali?"

Gue menghela napas sebelum menjawab. "Pak, masalahnya yang saya mau malah nggak mau sama saya. Dan yang mau sama saya, tapi saya nggak suka. Malah yang ada saya ngeblock chat mereka".

"Lah lu mah. Parah banget. Patahin banyak hati pria". Gue misuh-misuh pelan akibat ucapan Pak Romeo. Ini atasan gue kenapa nggak pengertian banget sih. Gak gue patahin juga kali hati mereka. Memang banyak yang mencoba untuk deketin gue. Tapi mereka aneh semua. Ada panitia beasiswa gue pas SMA yang pura-pura salah sambung pas nelpon gue. Parahnya gak cuma sekali. Dia juga sering ngechat gue, giliran gue bales pakai tanda tanya-eh dia malah bilang salah pencet nomor temennya. Gak jelas parah. 

 Ada lagi yang whatsapp ngakunya temennya teman gue, eh ujung-ujungnya langsung ngajak ketemuan. Gue yang selalu dicekoki oleh emak gue untuk jangan pernah mau diajak keluar sama orang yang gak dikenal ya jadi gak berani lah. Mak gue itu selalu update berita kriminal. Sebagian dari kasus itu adalah pembunuhan orang yang awalnya ajak kenalan, terus ajak jalan keluar. 

Selain itu, teman gue di sekolah juga banyak yang berusaha menunjukkan ketertarikan mereka. Malah ada yang sampai rela antar-jemput gue kerja kelompok. Padahal dia ada di kelompok lain. Tapi kalo guenya memang nggak suka dengan mereka semua ya mau diapain lagi kan? Memaksakan diri saja begitu?

"Wuah-wuah ada apa ini?" tiba-tiba entah dari arah mana, satu suara ikut menyambar. Ketika gue menoleh ke arah Pak Romeo, seseorang sudah ada di sana. Dia adalah Pak Syamsul, supervisor gue yang sedang menarik kursi di sebelah kanan Pak Romeo. Beliau juga anak buah Pak Romeo yang menjadi atasan gue langsung. Tambah lah orang yang menistakan kejombloan gue ini.

"Loh Sasya sudah punya pacar?" Nah ini nih. Yang kayak gini yang membuat gue semakin frustasi.

"Cariin atuh pak buat saya hehe".

"Loh kan sudah ada Sutarjo". Sutarjo? Gue ngerti sih maksud beliau bercanda. Tapi yang bener saja cuy, nggak ke Pak Sutarjo juga kali. Gue kasih tahu kalian ya, Sutarjo itu mantan Manager Divisi Keuangan yang sudah pensiun satu tahun yang lalu. Seorang bujangan tua yang berusia 55 tahun. Asli beneran gue nggak ada maksud menghina loh ya.

"Deuh pak, Pak Sutarjo banget ini".

"Ya daripada lu ngenes banget sya kagak ada yang apelin". Oke kali ini Pak Romeo yang terhormat sudah kembali berbicara setelah sebelumnya hanya diam dan tetap memperhatikan ponselnya yang terlihat sangat menarik.

"Itu makanya sya, cari cowok itu jangan kebanyakan milih". Elah si mak lampir ikut-ikutan segala lagi. Mak lampir adalah sebutan untuk senior gue yang usianya sudah memasuki 40 tahun. Punya lima orang anak. Baiklah cukup perkenalannnya dengan Mak Lampir. 

Setelahnya suasana kembali hening. Gue malas menjawab apapun. Lagipula apa sih salahnya jadi jomblo? Gue juga baru 22 tahun kali. Ya meskipun sudah memasuki usia impian gue untuk menikah. Heran juga sih, apa pernikahan itu adalah sesuatu yang punya deadline yang harus segera dilaksanakan? Apa menikah cepat-cepat itu merupakan sebuah prestasi?

Tetangga gue umumnya sudah pada punya anak sih di usia 22 tahun. Lah terus nikahnya umur berapa? Gue saja baru lulus kuliah empat bulan dan mulai bekerja selama dua bulan. Sejak dulu emak gue selalu menekankan gue untuk nikah maksimal usia 22 tahun. Gue iyain saja. Siapa juga yang nggak ingin cepet-cepet punya pasangan halal biar nggak berbuat dosa? Bahkan kalo seandainya gue dapet jodoh saat masih kuliah pun-gue mau-mau saja. 

Tapi hal yang membuat gue kesal di sini adalah semua ini tuh jangan dibuat untuk menekan gue. Kalo memang menurut yang di atas belum waktunya ya masa harus dipaksa? Ucapan mereka itu membuat gue jadi merasa bahwa menikah secepatnya adalah sebuah keharusan. Padahal di luar sana banyak juga yang menikah muda tapi ujung-ujungnya cerai, atau juga yang menikah di usia yang menurut masyarakat sudah 'telat' tapi buktinya mereka langgeng sampai tua.

Bukan gue yang baper. Tapi coba kalau kalian yang ada di posisi gue? Kesel nggak sih digituin? Diperlakukan seakan gue ini makhluk biasa saja yang terlalu mengharap kesempurnaan padahal kenyataannya gue sudah sering ditolak. Bahkan keluarga besar gue juga begitu. Setiap ada acara-pasti hal yang pertama ditanya oleh mereka adalah, "Sudah punya calon belum?"

Bagaimana pun gue berusaha untuk menulikan telinga, tapi tetap saja gue bisa dengar. Dan omongan mereka itu walaupun tujuan awalnya untuk memotivasi, akhirnya malah membuat gue jadi insecure. Kalau gue balas malah dibilang baper, ngegas, nggak open minded. Justru karena gue mencoba untuk open minded-makanya gue nggak mau terlalu terpaku dengan stigma masyarakat.

Heran juga kadang, pertanyaan yang pribadi kok malah yang dijadikan bahan untuk basa-basi. Ujung-ujungnya pasti dijadikan bahan untuk ngerumpi. 

Setulus Cinta Pak RTOnde as histórias ganham vida. Descobre agora