ENAM PULUH DELAPAN

26.2K 1.2K 270
                                    

Terima kasih untuk segala ucapan dan do'a kalian 😊
Maaf gak bisa dibalas satu-satu soalnya tangan lentik ini gak mau pegal. Maklum udah makin tua, sendinya mulai merapuh kayak hubungan lo sama dia 😈😈

Warning!! Part ini akan mengandung sedikit emosional setelah sekian lama terpendam

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Warning!!
Part ini akan mengandung sedikit emosional setelah sekian lama terpendam. Semoga kalian tidak engap!
Tapi, menurut author gak ada yang lebih menegangkan daripada kasus Rara 😅

~~
Happy Reading
And
Stay with me until the end
💖
~~

~Saling melengkapi adalah kita. Kamu yang jatuh, aku yang menggapaimu. Kamu yang bahagia, aku pula yang ikut bahagia~

Olivia & Devano

~~

"Ini untuk Olivia," kata ibu seraya menaruh kotak bekal merah muda di meja, lantas menumpuk kotak bekal biru muda di atasnya, "Yang ini untuk Devano."

Devano tersenyum lebar, bahagia karena setelah sekian lama akhirnya ia dibawakan bekal. Terakhir kali Devano dibawakan bekal oleh mama Nenden, lama sekali, sudah lupa bagaimana rasanya. Tapi, hari ini perasaan itu kembali ada. Menyenangkan.

"Semoga ujian tengah semester kalian lancar."

"Terima kasih, tante." Devano menatap sendoknya sejenak dan kembali menengadah, menatap bola mata ibu yang selalu terlihat ramah, "Tante, Olivia punya mama dan punya ibu. Devano punya mama, tapi tidak punya ibu. Apa boleh Devano memanggil tante ibu juga?"

Ibu terperangah tidak percaya dan langsung menggangguk antusias, "Tentu saja, tante gak pernah diberi kesempatan untuk melahirkan seorang bayi, tapi tante senang sekali punya kalian berdua. Anak yang cantik dan tampan."

Devano tersenyum lebar, "Terima kasih, ibu."

Olivia ikut tersenyum. Rupanya nasib Olivia tidak jauh beda dengan Devano, sama-sama kehilangan kasih mama dan papa di usia belia, yang beda hanya cara kehilangannya. Devano mungkin masih bisa melihat orang tuanya meski dari jauh sementara Olivia hanya bisa memandang pusara tak bersuara.

Bertengkar dengan ayah dan ibunya beberapa hari lalu membuat Olivia merasa bodoh. Ia seharusnya lebih dewasa. Benar kata Devano, masalah itu harus dihadapi. Tidak mau kehilangan ayah dan ibu, tapi dengan cara memusuhi mereka sama saja kehilangan secara tidak langsung.

Ayah yang tengah meneguk kopi hitamnya menatap Devano, "Tante saja yang dipanggil ibu? Om tidak?"

Devano menghilangkan senyumannya, berganti dengan wajah datar yang menurut Olivia begitu menyebalkan lantas berkata, "Iya, dong. Atau om juga mau Devano panggil ibu? Hallo, ibu." Ia lantas melambaikan tangan.

PARAPHILIA (SUDAH TERBIT ❤)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang