CIY | Demi Papa

562 125 22
                                    

Membosankan.

Aurista merasa malam minggu kali ini sangat membosankan. Dia tidak hang out bareng teman-temannya. Dan sekarang menjadi seperti bodoh anak gadis rumahan seakan masih begitu polos.

Ini jelas bukan dirinya tapi semenjak kejadian beberapa hari lalu, tepat di mana dia melihat orang-orang mencari dirinya bahkan menemukannya di klub, dia mulai berpikir bahwa ada benarnya juga untuk melindungi diri sendiri.

Mengulum permen bertangkai rasa cokelat Aurista berjalan menuruni tangga.

Rumah dalam keadan sepi dia sudah terbiasa tinggal berdua dengan Papanya di rumah sebesar ini. Mengeluarkan sejenak permen tersebut dari mulut Aurista berhenti di tengah anak tangga.

"Ayolah Rista, jangan lupain pekerja rumah tangga lo yang ada lima, penjaga di pos depan rumah dua, serta para bodyguard yang nggak lo tau ada berapa ban --" Perkataan gadis itu terhenti karena melihat seseorang keluar dari dalam kamar Papanya.

Jantung gadis itu kembali berulah. Nyatanya dia masih belum terbiasa dengan kehadiran Eru di sekitarnya kapan pun itu.

"Tunggu!" Aurista spontan bersuara dan menuruni tangga secara cepat.

Berjalan menghampiri dengan raut wajah penuh tanda tanya.

"Elo ngapain di kamar Bokap? Bukannya Bokap gue udah tidur ya?"

Menatapnya sejenak sebelum melanjutkan langkah kaki, Aurista yang melihat itu refleks meraih lengan Eru.

"Gue benci diabaikan!"

"Bukan urusan lo, udah malam sana tidur."

"Kalo apa pun nyangkut Papa pasti jadi urusan gue juga dasar nyebelin! Gue udah turuti mau lo buat nggak keluar malam lagi dan sekarang lo bisa liat? Ini jelas bikin bosan! Malam minggu gue hanya di rumah doang, astaga!"

"Kalo lo mau marah sana sama beliau, gue hanya jalankan perintah."

Aurista menghadang langkah kaki Eru.

"Berhubung besok hari minggu, gue mau lo bantu kerjain tugas sekolah gue."

"Dalam mimpi lo."

"Oke, gue akan ulang lagi kelakuan gue diusir dari kelas, lalu dipastikan lo akan repot terus --"

"Gue bantu lo kerjakan tugas sekarang."

Aurista tersenyum senang segera menarik tangan Eru membawa cowok itu menuju kamarnya.

"Mau ke mana?"

"Kamar gue."

"Kerjakan di tempat lain. Gue nggak mau di kamar lo."

"Santai aja lagi, gue nggak nganut larangan siapa pun masuki kamar gue."

Aurista berharap Eru tidak menyadari raut wajahnya saat ini sedang memerah bagaimana tidak? Karena dia sedang memegang tangan Eru.

Ini benar gila! Aurista benar menyukai Eru tidak tahu sejak kapan dirinya sendiri tidak mengerti.

¤ ¤ ¤ ¤ ¤

"Ini soal mudah tapi lo nggak bisa kerjakan?"

Bukannya tersinggung Aurista menatap wajah itu senyum. Saat ini mereka sedang duduk di sofa berada di luar balkon kamarnya.

"Langkah awal, gunakan kamus lo dengan baik buat artikan kosa kata dalam kalimat ini. Ada sepuluh soal gue mau lo artikan sepuluh kosa kata ini lebih dulu, sebelum fokus pada setiap kalimatnya."

Eru mengalihkan pandangan dari buku ke Aurista yang duduk di samping dirinya.

"Aw!"

Aurista meringis sakit saat keningnya disentil.

"Sakit! Nyebelin banget sih jadi cowok!"

"Jangan bilang saat gue jelaskan panjang lebar, nggak ada satupun yang nyangkut di otak lo?"

Aurista menyandarkan tubuh meraih buku di tangan Eru, "Sedikit ngerti tapi seenggaknya jadi kemajuan buat gue napa? Karna gue mau ngerjain tugas ini tanpa mau nyalin punya teman hebat tau."

"Terserah apa mau lo ini bukan tugas gue."

Aurista kembali menahan tangan Eru saat cowok itu akan beranjak bangun.

"Elo buru-buru pergi mau ke mana? Mau malam minggu sama cewek ya?!"

Eru menatapnya tajam bukan Aurista namanya jika tidak bisa memancing kemarahan seseorang.

"Apa pun agenda lo di luar sana gue minta lo tetap di sini. Gue mau lo bantu gue kerjain nih tugas. Lo itu bodyguard gue dan gue yakin Bokap bayar mahal lo buat ginian."

Aurista merasa gugup terlebih Eru hanya menatapnya dalam diam, tanpa mau bersusah payah menjawab perkataannya barusan.

Debaran kencang sialan! Maki Aurista dalam hati.

Mencoba melihat ke arah lain lalu Aurista meraih bukunya dia membuka kamus bahasa inggris.

"Sayang, kamu di mana?" Suara Papanya mengalihkan perhatian Aurista. Gadis itu berdiri dan tersenyum melihat Papanya keluar balkon.

"Papa kuat naik tangga?" Goda Aurista.

"Wah, putri Papa yang kurang ajar tapi begitu manis."

Aurista memeluk Papanya manja.

"Oh, Eru, saya pikir kamu sudah pulang."

Eru beranjak berdiri, "Tadinya sebelum diseret ke sini."

Aurista menatap kesal lalu tersenyum lebar pada Papanya, "Aku ada tugas sekolah dan itu banyak, jadi aku minta tolong sama dia."

"Ya sudah lanjut lagi biar tugas kamu cepat selesai. Papa selalu ingin melihatmu bahagia, Sayang. Salah satu keinginan Papa begitu besar adalah bisa melihat kamu meraih cita-citamu. Papa ingin melihatmu bisa jadi orang sukses di masa depan. Sederhana bukan keinginan Papa ini?"

Aurista mengangguk, "Sayang Papa banget!"

"Hilangkan kebiasan kamu membuat Papa selalu mengkhawatirkanmu Rista, apa kamu mau buat Papa terkena serangan jantung?"

"Papa!"

"Karena kamu sayang Papa jangan lagi seperti itu. Papa nggak dapat bayangkan bagaimana jika nggak ada Eru. Kamu bisa dibawa oleh mereka dan Papa akan kehilanganmu untuk selamanya."

Aurista mulai mengerti apa maksud dari perkataan Papanya. Kedatangan Eru malam ini dan dirinya melihat langsung Eru keluar dari kamar Papanya. Aurista menjadi tahu bahwa cowok itu sudah menceritakan semua hal yang terjadi di klub.

"Ya sudah Papa mau tidur dulu. Nggak lagi kuat tidur terlalu malam."

Setelah Papanya berlalu pergi Aurista kembali menahan tangan Eru yang juga akan beranjak pergi.

"Gue salut lo cukup berbakti sama Papa. Sehingga apa pun lo kerjain begitu cepat lo sampaikan ke Papa. Tadinya gue mikir lo akan simpan rahasia ini hanya berdua tapi gue salah."

"Ada lagi yang ingin diomongkan?"

"Bantu gue."

Cowok itu menatapnya dalam diam.

"Bantu gue buat berubah jadi kepribadian lebih baik lagi." Aurista tersenyum menatap sorot mata Eru, "Mulai sadar waktu terus jalan dan kondisi Papa bisa aja buat gue ada di hal yang akan buat gue jadi takut. Gue mau berubah jadi kayak apa yang Papa mau lo ... bisa bantu gue, kan?"

Saling pandang Aurista berharap ini adalah keputusan dia pilih dengan tepat. Menatap sorot mata itu seakan mencari tahu apa yang sedang dipikirkan Eru saat ini.

"Dari banyaknya orang gue kenal entah napa ... gue hanya mau lo bantu gue buat berubah. Anggap ini buat keinginan Papa bukan gue pribadi. Nanti dengan kayak gitu lo akan lebih mudah nolong gue."

¤ ¤ ¤ ¤ ¤

Crash Into YouTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon