"Yang baru tunangan mah beda. Kerja terus buat modal nikah."

"Yaelah sombong amat lo, No. Percaya deh yang minggu depan mau nikah."

Kirino menyodorkan sebuah amplop ke atas meja. Sebuah undangan berwarna putih yang dibalut dengan sebuah pita berwarna beige baru saja mendarat di dihadapanku. Perasaan lega dan bahagia lantas menyeruak dalam diriku ketika menjumpai nama seseorang yang amat kukenal tertulis disana.

Seorang laki-laki yang berperan cukup besar di dalam hidupku, aku lega karena pada akhirnya ia dapat menemukan jalinan benang merahnya.

"Wah, lo ngedahuluin kita nih."

"Hehehe, maaf ya bang."

"Nggak nyangka gue, jadi juga lo sama Airin."

"Selamat ya, Kirino. Aku ikutan seneng nih, jujur."

"Makasih, Ara."

Tidak ada perasaan getir yang melingkupiku ketika aku melontarkan ucapan selamat kepada Kirino. Yang ada hanya perasaan bahagia dan lega yang tulus menguar dari hatiku. Kirino berhasil menemukan rumahnya untuk pulang.

Kami sudah tidak lagi bersama sejak pertemuan terakhir dua bulan setelah Kirino kembali dari Jepang. Perpisahan kami terjadi secara baik-baik, lantaran tidak ada hal yang mungkin bisa dipaksakan untuk tetap terjadi. Perasaan mengganjal tentang hal yang ditutup-tutupi oleh Kirino sudah pudar.

Laki-laki itu tidak pernah mengungkapnya, tapi waktu yang membantuku untuk menjadi seseorang yang lebih tenang dan merelakan hal yang bukan menjadi milikku. Tidak ada lagi yang perlu diangkat ke permukaan, tidak ada lagi malam-malam yang dirasakan penuh dengan tangisan.

Waktu diisi dengan obrolan-obrolan yang hangat dan melepas rasa rindu pada teman lama. Tawa mendominasi kami. Hingga pada akhirnya kami harus berpisah, dan kembali pada realita masing-masing.

"Makasih ya, No udah jemput Ara tadi. Sorry gue ngerepotin."

"Yaudah sih, Bang. Kayak sama siapa aja lo. Lagian Ara kan temen gue juga."

"Makasih ya, Kirino. Jaga kesehatan semoga lancar sampai hari-H nanti."

"Makasih, Ra. Balik duluan ya."

Kirino memasukki mobilnya sendiri. Bayu dan aku masih berdiri memandangi mazda putih itu dan melambaikan tangan ketika laki-laki itu berhasil memundurkan mobilnya dengan sempurna dan meninggalkan lot parkir.

"Pulang sekarang?"

"Yuk."

Bayu meraih tangan kiriku, dan mengistirahatkan jemarinya disana. Laki-laki itu mengayun-ayunkan tangan kami ketika kami berjalan menuju mobilnya yang diparkirkan di ujung lot parkirㅡkata Bayu tadi hanya tempat itu yang tersisa.

Semesta memang lucu dalam menjalankan sebuah permainan jika aku menarik garis dari awal pertemuanku dengan Kirino. Aku dilemparkan pada sebuah kotak lalu kemudian ditarik dan dilemparkan pada kotak lainnya. Dan kini, aku tidak ingin dilemparkan lagi.

Bayu akhirnya menyadari perasaannya  untukku. Tiga tahun setelah mengakhiri hubungan dengan Kirino, Bayu memberanikan dirinya untuk menemuiku dan menuangkan apa saja yang berada dalam dirinya malam itu. Masih dalam balutan setelan kantornya. Rambutnya terlihat sedikit berantakkan, dan lingkaran hitam menggantung dengan jelas di bawah matanya. Menandakan laki-laki itu telah melewati hari-hari tanpa tidur.

It takes time, katanya. Dengan sabar Bayu menemaniku untuk mengumpulkan puing-puing yang sudah lama tertinggal. Aku tidak patah hati, karena aku sudah menyiapkan segalanya sejak jauh-jauh hari. Karena aku sadar, Kirino dan aku memang akan berpisah suatu saat nanti.

Aku hanya membutuhkan waktu dan menata diri untuk siap membuka hati pada siapapun yang akan singgah disana. Aku tidak ingin meninggalkan kenangan lama untuk orang itu, aku tidak ingin orang itu hanya menjadi bayang-bayang di hidupku saja.

Sepulang kami dari gereja empat bulan yang lalu, Bayu datang ke rumah. Mengutarakan niat keseriusannya pada Papa yang membawa kami pada acara pertunangan sederhana dua bulan setelahnya. Kirino juga datang, bersama dengan Airin.

"Minggu depan Ino nikah, kamu udah nggak apa-apa?"

"Kalau kamu tanya itu tujuh tahun yang lalu, mungkin aku bakal nangis gulung-gulung di Monas."

Bayu terkekeh dan mengusap kepalaku lembut. Matanya tidak berpaling dari jalanan yang masih ramai, padahal malam sudah semakin naik. Kami berdua terjebak dalam kemacetan yang terbentang panjang.

"Bay, makasih ya udah mau ikut terlibat di hidupku."

"Aku nggak terlibat, Ra. Aku yang melibatkan diri."

"Iya, makasih udah melibatkan diri."

"Mumpung besok weekend, mau ke rumah Mama?"

"Eh jangan, kamu kan capek. Udah pulang aja deh."

"Nggak capek kok, kan aku dapet energi dari kamu."

FIN.

been working hard on this story for approximately 2 months (if Im not mistaken). finally, Elixir comes to an end! thanks a lot, udah baca dan mengikuti elixir dari awal sampe sekarang. terimakasih buat support kalian semua, bener-bener bikin semangat nulis dan selalu nyadarin aku buat bikin tulisan yang memuaskanㅡwalaupun aku ngga tahu apakah ini cukup memuaskan atau ngga. duh, aku ngga bener-bener bisa bikin farewell notes begini. intinya, aku mau berterimakasih sama kalian semua yang udah terlibat di buku ini. sending my never ending love to you guys!💓 stay healthy and always be happy!

-with love,
alettara❤

ElixirWhere stories live. Discover now