Epilogue

377 41 41
                                    

Ara

Kirino is calling...

"Ra, kamu udah pulang?"

"Udah. Kamu udah sampe depan?"

"Iya, aku udah nunggu di depan."

"Bentar ya, aku barusan selesai mandi."

Sebuah mobil mazda berwarna putih yang amat kukenali itu sudah terparkir dengan rapi di depan kostku. Kirino tidak pernah mengganti mobilnya sejak tujuh tahun yang lalu. Mobil yang menemaninya kemanapun ia pergi disisa-sisa waktunya menyandang status sebagai mahasiswa.

Sepulangnya dari Jepang, kami bertemu. Kala itu, aku tidak lagi mempermasalahkan tentang akhir dari hubungan kami. Skenario yang Tuhan berikan sudah cukup jelas menjawab semuanya. Dan aku merasa cukup bahagia.

"Capek ya, Ra jadi penulis?"

"Nggak kok, dinikmatin aja. Kamu sendiri jadi dosen muda pasti keberatan banget ya?"

"Aku seneng. Aku cinta sama pekerjaanku."

"Pasti gara-gara banyak mahasiswi yang deketin atau modus minta nomer kan?"

"Hahahaha. Enggak lah, Ra. Aku juga nggak mau kasih sembarang nomer. Ada hati yang harus aku jaga."

Iya, ada hati yang memang sedang kamu jaga.

Laki-laki itu memutar kemudinya setelah melewati traffic light yang memanjang. Tidak heran, orang-orang pasti memilih untuk menghabiskan waktunya di luar lantaran hari ini adalah Jumat Malam.

Ada satu cincin yang melingkar diantara barisan jemarinya. Yang dulunya masih kosong lantaran laki-laki itu tidak pernah menyukai segala bentuk aksesoris apapun yang memungkinkan untuk menempel di badannya. Cincin itu hampir sama persis seperti milikku. Tapi cincin Kirino mungkin akan berganti dalam hitungan hari.

Kirino memarkirkan mobilnya secara paralel di Manresa, salah satu restauran yang baru buka di dekat kantorku. Kami memang sengaja ingin mencoba restauran itu atas saranku tadi malam. Dan Kirino menyetujuinya.

"Kita pesen duluan aja kali, ya?"

"Terus Bang Bayu?"

"Biasanya sih dia ngikut aja."

"Bentar aku chat dulu."

"Eh, aku aja."

"Nggak apa-apa, Ra."

Kirino lantas sibuk dengan ponselnya, sedangkan aku sibuk mengedarkan pandangan pada barisan-barisan makanan yang tertulis di buku menu berwarna hitam itu. Restauran yang baru di buka ini mengusung konsep minimalis yang membuat pengunjungnya akan merasa nyaman setiap kali mereka datang.

"Ra, pinjem buku menunya dong. Mau aku fotoin ke Bang Bayu."

Aku lantas mengangsur buku itu ke tangan kanan Kirino yang sudah terjulur ke arahku. Laki-laki itu kembali sibuk dengan ponselnya sebelum meraih kertas untuk menuliskan menu pilihannya dan Bayu, juga menu pilihanku.

Sekitar lima belas menit kemudian, seorang laki-laki dalam balutan kemeja putih datang menghambur ke meja kami, yang langsung disambut dengan senyuman hangat oleh Kirino. Kedua laki-laki itu berpelukan, karena sudah lama tidak berjumpa.

Kesibukkan menciptkan sedikit jarak dalam pertemanan lama mereka, tapi yang aku dengar, mereka masih sering melangsungkan konversasi melalui group ruang obrolan yang sudah terbentuk sejak mereka masih duduk di bangku kuliah.

"Gila nih Bang Bayu. Gue sama Ara udah mau lumutan nungguin."

"Hahaha. Sorry sorry telat."

ElixirWhere stories live. Discover now