13

189 40 4
                                    

ㅡAra

Terakhir kali aku benar-benar mengenal Kirino yang sesungguhnya, aku tidak pernah menyangka kalau laki-laki itu akan pergi jauh. Secepat itu. Walaupun aku masih bisa melihat presensinya, menyentuh tangannya, atau memandang matanya dengan lekat. Tapi aku tidak benar-benar bisa menggapai dia kembali.

Kirino hilang begitu saja, aku tidak tahu pasti ia pergi kemana. Dan teman-temannya pun mengakui itu, kalau kata Bayu. Kali ini Bayu menjadi satu-satunya informan yang bisa aku andalkan. Melihat Kirino beberapa saat yang lalu, membuatku yakin bahwa terus menerus menghubunginya adalah suatu kesalahan.

Bayu menawarkan tumpangan kepadaku untuk kembali ke kost, padahal aku sudah berniat memesan ojek online saja. Tapi laki-laki itu bersikukuh untuk mengantarku pulang. Mungkin dia menganggapku sebagai adiknya yang sedang membutuhkan bantuan seorang kakak.

Kami tidak benar-benar langsung pulang, melainkan mampir ke salah satu café yang berada tidak jauh dari kampus. Katanya, aku harus menjelaskan sesuatu. Dan katanya, aku sudah nyaris sama-sama gila seperti Kirino.

"Makan nasi kotak disini nggak kena charge kan, Kak?" Tanyaku pada Bayu.

"Nggak kok. Gue sering nyelundupin indomie dari kostan ke sini," jawabnya dengan nada bercanda. Tapi anehnya, tidak ada rasa menggelitik yang membuatku ingin tertawa.

"Oh... Hehehe," aku berujar dengan memaksakan sebuah tawa.

Bayu menyesap milkshake cokelat di depannya dengan cepat. Mungkin ia merasa sedikit bebas lantaran kami sudah tidak diharuskan untuk berpuasa minum es dan hal-hal lain yang benar-benar menyiksa. Beberapa waktu aku juga sering mencuri-curi kesempatan untuk tetap minum es di malam hari.

"Makan, Ra. Jangan dilihatin doang. Atau malah ngelihatin gue minum, lo mau?"

"Nggak, Kak. Gue mau air putih aja."

"Makanya, di makan dulu."

"Lo nggak makan, Kak?"

"Lah, gue udah habis satu tadi di kostan."

"Oh...."

Dengan pelan-pelan, aku menyuapkan nasi itu ke dalam mulut. Tidak ada setitik keinginan pun di dalam diriku untuk melakukan kegiatan lain, selain menyaksikan Kirino kembali. Kemudian kami menghabiskan waktu bersama-sama seperti dulu.

"Mind telling your story to me?" Tawar Bayu dengan hati-hati.

"Bentar, mau habisin nasi dulu."

"Alright."

Setelah benar-benar menghabiskan nasi kotak itu dan meminum setengah dari es lemon tea yang aku pesan tiga puluh menit lalu, aku mulai buka suara. Yang sebenarnya, duduk perkaranya pun masih abu-abu.

"Udah. Bisa cerita sekarang, Kak."

"Go on.."

"Gue nggak tahu pasti duduk perkaranya gimana, tiba-tiba aja habis main ke rumah Kirino jarang ngomong sama gue. Nemuin gue aja bahkan enggak. Kayak, masalahnya cuma disitu aja. Tapi dia berubah."

"Gini, gue kenal Ino mungkin nggak lebih lama dari lo. Menurut gue, dia lagi nyembunyiin sesuatu."

"You right. I feel the same. Gelagatnya gampang dibaca,"

"Kalian itu butuh ngomong. Dan butuh waktu."

"Yaa, gue wajar-wajar aja sih kalau dia kayak gitu. Lagi skripsian, harus ngasdos. Siapa yang nggak sibuk, coba? Tapi apa itu bisa bikin dia berubah? Being the coldest person I've ever knew."

ElixirWhere stories live. Discover now