12

164 44 2
                                    

Kirino

Gue tahu, hari ini termasuk bagian dari hari pentingnya Ara. Biasanya gue nggak pernah absen satu hari pun buat menemani perempuan itu. Begitupun Ara. Kami sama-sama mementingkan hari masing-masing, selayaknya hari itu sudah menjadi hari milik sendiri.

Misalnya hari itu, Ara berulang tahun yang ke tujuh belas. Kata orang, usia ke tujuh belas itu menjadi permulaan masa dewasa yang sering dianggap menjadi sesuatu yang spesial. Pulang sekolah, gue buru-buru berjalan ke kelas Ara dan mengajak perempuan itu pergi ke Antalogi yang sudah menjadi tempat langganan kami.

"Maaf ya, belum bisa ajak kamu dinner yang wah banget,"

"Nggak apa-apa, kali? Emang ulang tahun harus dirayain yang wah gitu?"

"Kan ini sweet seventeen, Ra. Beda kali,"

"Sama aja, kok. Yang penting, hari itu kita habisin sama siapa,"

"Jadi seneng hari ini sama aku?"

"Iyalah, tahun depan emang kita yakin bisa kayak gini?"

Gue cuma mengangguk dan menggaruk tengkuk yang jelas-jelas nggak gatal itu. Senyum Ara nggak memudar sama sekali, semenjak perempuan itu duduk di atas jok motor gue. Dan senyuman itu menular. Hari ini gue simulasi ujian matematika, sebelum benar-benar menghadapi ujian nasional yang akan dilaksanakan beberapa bulan lagi. Rasa pusing tadi, buru-buru menghilang jauh setelah gue melihat senyum merekah Ara.

"Ra, aku punya sesuatu."

"Apaan? Nggak usah repot-repot, Kirino."

"Nggak apa-apa, berguna ini buat kamu."

Tangan gue bergerak menggerayangi tas yang sekarang cuma diisi dengan kertas-kertas bekas soal simulasi dan beberapa materi yang harus gue pelajari sampai ujian nasional nanti datang. Gue mengambil buku latihan soal SBMPTN yang sudah dibungkus rapi dengan kertas kado.

Itu bukan buku bekas punya gue, tapi beli baru. Walaupun ujian Ara masih jauh di tahun depan, tapi nggak ada salahnya juga kan kalau gue beliin sekarang? Apalagi Ara buruh curi start buat belajar materi anak-anak IPS.

"Ini... Jangan dilihat nilainya. Tapi kamu harus tau, aku ngasih ini pakai hati."

"Berarti kamu sekarang udah nggak punya hati?"

"Sembarangan!"

Tapi mungkin sekarang, gue mau egois. Perkataan Om Janu, menjadi sesuatu yang menghalangi gue untuk melihat perempuan itu. Walaupun rasa kangen sudah di ujung lidah, tinggal menunggu waktu membuatnya terlontar begitu saja.

Mungkin gue harus membiasakan diri kalau suatu saat nanti, bukan Ara lagi yang datang di hari-hari penting gue. Dan bukan gue lagi yang akan menemani Ara di hari-hari pentingnya. Sedih memang kalau harus dibayangkan, apa yang mungkin terjadi sama kita. Entah sebulan lagi, setahun lagi, apalagi sepuluh tahun lagi. Nggak ada yang tahu, kami akan berakhir seperti apa.

Beberapa hari belakangan juga, gue merasa sudah kehilangan nyawa. Putus napas bukan selalu tentang tubuh yang terbujur kaku. Tapi juga tentang jiwa yang sudah kehilangan rasanya. People usually call it with dead inside. Dengan kata lain, tubuh gue masih bisa ditelanjangi. Tapi jiwa gue sudah terlanjur telanjang.

"Kak Ino.... Nggak ada acara?" Tanya Jusuf yang sedang duduk di meja makan.

Beberapa penghuni kost juga belakangan ini sedikit heran dengan keadaan gue. Ada keinginan buat membagikan sedikit hal yang mengusik pikiran gue, tapi rasanya nggak ada semangat untuk menggerakkan lidah. Kalau pun iya, gue cuma bicara hal yang penting atau basa-basi saja.

ElixirWhere stories live. Discover now