17

190 41 12
                                    

ㅡAra

"Cuy, handout gue kebawa lo ya?"

"Nggak anjir. Where did the last time you put it?"

"Waktu di apart lo kayaknya gue lupa masukkin ke tas lagi."

"Nih, makanya besok-besok tuh diliat dulu ya, Otniel. Belom aja gue kiloin."

"Aturan jadiin bungkus gorengan aja sih, Jef."

"Ra... UTS nih, lo masih galau aja?"

Suara gaduh yang memenuhi kantin tidak lantas meredam suara ketiga temanku ini. Memang pada dasarnya, kami berempat adalah manusia-manusia yang dibekali dengan suara kerasㅡmungkin terkecuali aku, yang tidak terlalu keras. Terkadang, kami akan mudah dikenali lantaran seringkali menyedot atensi dalam beberapa situasi.

Kertas-kertas bertebaran setelah kami memutuskan untuk melengkapi catatan satu sama lain di kantin secara mendadak, berdasarkan ide yang tiba-tiba saja tercetus dari Gladys. Ujian Tengah Semester sudah di depan mata. Dengan berat hati, kami harus bekerja lebih keras dan meninggalkan waktu bersantai lalu menggantinya dengan duduk berjam-jam untuk berjibaku dengan berbagai kertas dan modul yang sudah dibagikan.

"Nggak, gue udah bisa mikir kok."

"Enggak ya, Ra. Gue tahu lo tuh pasti lagi nggak konsen. Beberapa kali lo bengong."

"Gimana ya, Dys. Lo tahu kan apa yang terjadi?"

"We knew it, Ra. Tapi ini udah berapa lama tubuh lo di isi orang lain?"

"Pilihan kata lo sembarangan banget, Jef. Tapi bener, udah berapa lama lo kosong gini?"

"Secepatnya gue bakal balik, semoga bisa."

Satu-persatu dari kami meninggalkan meja untuk menyudahi pertemuan hari ini karena kami masih harus menyelesaikan materi-materi yang belum sempat terjamah sama sekali. Gladys sedaritadi mengeluh tentang bagaimana Ujian Tengah Semester merampas waktu menonton serial favoritnya yang lantas ditimpali oleh beberapa ejekkan oleh Jefri dan Otniel secara bergantian. And I was able to smile, because of that.

Tapi senyum itu tidak bertahan lama, setelah sebuah pesan singkat terselip diantara rentetan notifikasi di ponselku. Pengirimnya sudah jelas. Laki-laki yang akhir-akhir ini memutuskan untuk menghilang dan mengasingkan diri begitu saja dengan meninggalkan sejuta pertanyaan yang menggelayuti pikiranku setiap malam.

Jantungku berhenti berdetak untuk sesaat. Sedetik setelah aku menjumpai namanya kembali. Rasanya hari-hari yang sudah berlalu, kembali lagi. Tapi hadir dengan atmosfer yang berbeda. Tidak ada candaan yang membuka pembicaraan kami dan tidak ada perasaan bahagia yang menyusupi diriku.

Kirino Isha K
Ara?

Serafina Ara
Kenapa, Kirino?

Kirino Isha K
Apa kabar?

Serafina Ara
Baik
Kamu gimana? Skripsi lancar?

Kirino Isha K
Ya Allah...
Masih aja nanyain skripsi
Baik, Ra

Serafina Ara
Puji Tuhan
Hehehe

Kirino Isha K
Udah lama ya

Serafina Ara
Iya, aku capek

Kirino Isha K
Sama, aku juga
Ayo kita selesaiin

Tenggorokanku tercekat. Tanganku gemetar hebat sesaat setelah membaca tiga kata-kata yang tidak pernah aku duga-duga akan terlontar dari dirinya setelah spasi yang laki-laki itu berikan kepadaku. Mungkin kalau Kirino sedang berada dihadapanku saat ini, aku sudah melemparinya dengan sumpah serapah yang sayangnya aku bahakan tidak mampu melafalkannya.

ElixirWhere stories live. Discover now