18

260 39 16
                                    

Kirino

Mengabadikan setiap jengkal kamar gue yang sudah nggak lagi sepenuh kemarin, menjadi hal yang pertama kali gue lakukan selepas mandi pagi. Sebelumnya nggak pernah pergi sejauh ini, paling jauh ke Bali waktu study tour SMA.

Waktu itu, Mama udah uring-uringan banget dan menyiapkan banyak perlengkapan yang gue rasa sebetulnya nggak sebegitu penting. Wajar, gue cuma satu-satunya anak yang beliau punya. Tangan Mama melambai ke arah bis gue ketika berjalan menjauh meninggalkan sekolah. Mama sengaja ijin datang terlambat ke kantor hari itu karena mau mengantar gue.

Ketika sedang asyik mengabadikan setiap jengkal kamar, pintu kamar gue dibuka. Mama berdiri disitu, masih dengan baju yang beliau gunakan dari semalam. Matanya sedikit sembab, yang gue asumsikan Mama mungkin baru saja menangis. Atau mungkin sisa air mata yang mengering dan nggak sempat dihapus semalam.

"No, Mama boleh masuk?"

"Boleh. Kenapa enggak, Ma? Kan ini rumah Mama."

Beliau mendudukkan dirinya di ujung kasur gue yang sudah nggak dilapisi oleh seprei. Matanya bergerak melihat keluar jendela, kemudian memandangi setiap sudut kamar gue. Persis seperti apa yang gue lakukan tadi.

"Sini, duduk di sebelah Mama."

Mama menepuk tempat kosong di sampingnya. Garis-garis kerutan mulai kelihatan di wajahnya, menandakan kalau beliau sudah mulai memasuki usia tua. Nggak terasa, hidup udah berjalan sejauh ini.

"Kayaknya baru kemarin Mama gantiin popok kamu yang rewel setiap malam. Kelimpungan nyari dot kamu yang warna biru itu. Kalau nggak pake itu kamu nggak mau minum susu."

"Hehehe. Ino nyusahin ya, Ma?"

"Nggak, Kirino. Kamu nggak pernah nyusahin Mama atau Papa, sayang."

Tangan kanan mama mendarat di pucuk kepala gue dan membelai pelan, yang menyebabkan helaian rambut gue ikut bergerak searah dengan telapak tangannya.

"Tanpa kamu, mungkin Mama sama Papa nggak akan sekuat sekarang. Kamu itu semangatnya Mama."

Sebuah senyum melengkung di wajah gue. Rasanya hangat sekali. Jujur, selama ini kayaknya gue belum bisa jadi anak yang baik dan cukup membanggakan mereka. Tapi Mama dan Papa nggak pernah ada capeknya untuk memenuhi kebutuhan gue.

"Ma..."

"Kenapa, sayang?"

"Ino nggak tahu harus gimana sama Ara."

"No, kalau emang kamu sama Ara bisa ditakdirkan buat bersatu. Mau berjalan sejauh apapun kamu pasti kembali lagi ke Ara."

"Kalau enggak?"

"Pasti kamu nanti juga menemukan rumah yang memang seharusnya jadi rumah kamu."

"Tapi Ino sayang banget sama Ara, Ma. Ino udah salah besar kemarin."

"Mama sama Papa juga udah sayang sama Ara, No. Ara udah kayak anak sendiri. Tapi mau gimana lagi? Semua udah ada jalannya. Kamu nggak bisa asal serobot."

"Iya, Ma."

"Yang kuat, Nak. Kirino Isha Khalil itu anak Mama yang paling kuat."

"Soalnya anak Mama kan cuma Ino."

Sedetik kemudian Mama meledak dalam tawa. Beliau menarik gue dalam pelukannya yang hangat, dan mengusap bahu gue pelan. Kalau kayak begini caranya, gue jadi ikutan mau nangis juga.

"Udah gede beneran ya anak Mama."

Karena masih harus mengurus beberapa hal, Mama akhirnya berpamitan dan beranjak dari kasur gue. Langkahnya terhenti ketika berada di ambang pintu.

ElixirWhere stories live. Discover now