5

281 50 10
                                    

ㅡAra

Kalau aku boleh memilih, rasanya sekarang aku mau bertukar peran dengan Margo di Paper Towns supaya bisa memiliki jiwa yang bebas berkelana kemana pun itu. Sneak out the window on midnight, lalu memiliki petualangan singkat hanya dalam satu malam.

Atau meninggalkan sup abjad yang menjadi petunjuk destinasi kemana aku pergi hari itu. Disneyland misalnya. Tapi sayang, Disneyland terlalu jauh untuk dijangkau dari sini. Mungkin Dufan satu-satunya tempat yang paling bisa aku sambangi jika aku benar-benar ingin melarikan diri. Atau seaworld juga bukan ide yang buruk. Kemudian pulang dengan membawa souvenir boneka yang aku beli dari sisa tabungan mingguan.

Sayangnya, aku tidak bisa lepas tangan begitu saja dari tanggungjawabku sebagai anggota paduan suara yang akan mengikuti lomba antar jurusan beberapa minggu lagi. Dan sayangnya juga, aku harus benar-benar menjaga stamina tubuh jika aku tidak ingin melewatkan satu kesempatan berharga ini.

"Istirahat dulu sebentar, lima menit habis itu kita lanjut lagi," Kak Daniㅡperempuan berambut sebahu yang menjadi pelatih kami, merupakan angkatan atasㅡberujar.

Hari ini sesi latihan dibuka dengan pemanasan seperti biasa. Berlari mengelilingi selasar, diikuti dengan menyanyikan beberapa lagu yang dipilih secara acak. Selanjutnya diteruskan dengan latihan pernapasan yang membuatku benar-benar kesulitan untuk mengais udara sore ini.

"Latihan hari ini kok rasanya berkali-kali lipat lebih capek dari kemarin ya?" Renata bertanya sembari mendudukkan diri di sebelahku.

"Kitanya udah mulai tua kali," jawabku dengan ringan.

"Ngaco. Tapi bener juga sih. Ini kan lomba terakhir kita, bentar lagi kita purna tugas," Perempuan itu menenggak air mineral di botolnya dengan tergesa.

"Gila gila, nggak terasa ya. Kayak kemarin kita barusan ikut latihan alam gitu, tau-tau mau udahan aja," sambung Sarah yang duduk di sebelah kiriku.

"Kita cuma sampe disini aja? Makasih buat hari-hari yang udah pernah kita lalui," ujarku dramatis.

"Aku bakalan inget semua ini sampai kapanpun. Kamu yang paling berharga buat aku," Renata menutup tempat minumnya lalu menanggapi ucapanku.

"Gila lo semua emang,"

Kami kemudian tenggelam dalam gelak tawa ditengah-tengah kesibukkan serta lelahnya berlatih. Tertawa selama beberapa hari belakangan ketika sedang berlatih, menjadi sesuatu yang asing untuk didengar telinga. Kami terlalu sibuk untuk menghafalkan lirik, menebak-nebak nada yang pas, dan mengharmonisasikan warna suara bersama.

"Yah, abis minum gue," keluhku ketika mendapati tempat minum berwarna putihㅡhadiah dari Kirino pada ulang tahunku yang ke enam belasㅡsudah ringan ketika ku angkat ke udara.

Ada cerita dibalik tempat minum berwarna putih ini. Siang itu di hari dimana aku bertambah usia, Kirino menghilang seharian di sekolah. Tidak menampakkan batang hidungnya sama sekali. Menimbulkan banyak guratan pertanyaan di dalam pikiranku.

Biasanya, laki-laki itu akan datang menyembulkan kepalanya di balik pintu kelas setiap istirahat pertama atau kedua. Berganti-gantian, karena kami masih harus tetap bersosialisasi dengan teman-teman kami masing-masing.

"Lo seharian ini liat Kirino nggak, sih?" Tanyaku pada Anyaㅡsalah satu teman dalam lingkaranku.

"Nggak tahu deh. Tadi kayaknya dia masih ada di kantin kok waktu istirahat pertama," perempuan itu mengedikkan bahunya.

"Jangan-jangan diumpetin penjaga sekolah," Tarra menelan bakso goreng sebelum berujar.

"Tar, kalo ngomong yang iya-iya ajadeh,"

ElixirМесто, где живут истории. Откройте их для себя