10

177 40 4
                                    

Kirino

Setelah sekian lama, akhirnya gue pergi ke rumah Ara siang ini. Kesibukkan di semester akhir menyita banyak waktu gue untuk berkutat dengan skripsi. Akhirnya, Bab 1 gue selesai juga. Dan gue udah dapet lampu hijau buat lanjut ke bab selanjutnya.

Nggak banyak yang berubah dari rumah Ara. Atau justru nggak ada? Mengingat kedua orang tua Ara juga sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing jadi mungkin nggak banyak waktu yang tersedia bagi mereka untuk sekadar mengubah tatanan rumah.

Siang ini, Aidan minta ditemani bertukar pikiran tentang jurusan apa yang menjadi minatnya setelah lulus dari SMA. Yang membuat gue jadi pusing karena anak itu belum menyiapkan skala prioritasnya. Kayaknya gue bisa alih profesi jadi guru BK lama-lama.

Siang ini juga, gue belum bisa ketemu ayahnya Ara karena beliau belum pulang dari acara sepedaan mingguan dengan bapak-bapak di kompleks rumahnya. Tapi gue bertekad untuk tidak pulang sampai bisa bertemu dengan beliau.

Tiba-tiba saja gue terlempar ke masa-masa dimana gue takut buat datang ke rumah Ara. Gue memang sudah beberapa kali pergi ke rumah Ara. Tapi itu juga cuma menurunkan Ara di depan rumahnya lalu pergi kembali ke rumah gue. Setelah mengumpulkan keberanian semalaman, gue berusaha untuk mengakrabkan diri dengan anggota keluarganya yang terbuka itu.

Mereka tahu kami berbeda. Itu poin yang membuat gue jadi ketar-ketir semalaman. Takut-takut kalau mereka akan menodong gue dengan sejuta pertanyaan yang nggak ada jawabannya atau belum terpikirkan sama sekali.

"Kirino punya adek atau kakak di rumah?" Tanya Tante EliaㅡMamanya Araㅡ ramah.

"Nggak punya, Tante. Aku kebetulan cuma sendiri hehehe," jawab gue dengan sedikit malu-malu.

"Wah, pasti kamu mandiri banget ya? Om salut loh sama anak tunggal. Mereka pasti pernah ada di fase dimana mereka nggak tau harus berbagi pikiran ke siapa," ujar Om JanuㅡPapanya Ara.

"Masih belajar, Om. Apalagi besok kuliah mau ngekost," tutur gue kali ini tidak dengan malu-malu.

"Jauh dong berarti kuliahnya? Tuh Ara harus siap-siap kangen terus ya tiap hari," Om Janu menoleh ke arah Ara dengan sedikit meledek. Membuat gue ikutan tertawa.

"Apaan sih, Pa..."

"Nggak kok, Om. Cuma dua puluh kilometeran paling. Tapi kalo nggak ngekost capek juga harus bolak-balik," terang gue.

"Om juga nggak punya sodara di rumah dulu. Pasti nanti di awal orang tua kamu bakal nyamperin terus sampe dihafalin sama yang jaga kost," beliau kemudian menceritakan masa awal perkuliahannya yang ternyata itu juga terjadi dalam masa awal perkuliahan gue.

"Kirino... udah adzan. Mau sholat dulu?" Tanya Tante Elia yang baru saja keluar dari dapur.

Gue mengernyit bingung. Jelas saja, gue nggak kepikiran buat bawa peralatan beribadah sendiri dari rumah tadi. Tante Elia yang melihat perubahan raut wajah gue berjalan mendekat.

"Kita ada kok. Biasanya disiapin buat tamu yang emang butuh. Nanti biar dianter Ara ya,"

Untuk sesaat gue bisa bernapas lega karena mereka memang menerima gue. Bahkan mereka selalu menyambut gue ketika gue datang ke rumahnya. Beberapa kali Om Janu mengajak gue pergi bersepeda bersama karena beliau begitu mencintai olahraga tersebut.

Kami saling berbagi cerita, layaknya seorang bapak berbagi cerita dan pandangan tentang masa depan kepada anaknya sendiri. Tapi rasanya, beberapa hari belakangan ini semuanya agak berbeda. Beliau mulai sering menyenggol perihal perbedaan Ara dan gue. Sekecil apapun itu.

ElixirWhere stories live. Discover now