Ya, aku juga kaget ketika tau aku punya penyakit itu. Aku juga baru tau tentang hal ini.

Sedih.

Cemas.

Marah.

Kecewa.

Itulah yang aku rasain waktu pertama kali denger ucapan dokter. Dokter juga bilang, kalo aku harus operasi agar bakteri ini bisa hilang.

Dan karena itu aku pergi, aku juga gak mau kalian jadi khawatir dan gak fokus ujian. Makanya aku rahasiain semua ini dari kalian.

Maaf.

Sekali lagi maaf. Aku bener-bener gak bermaksud untuk bikin kalian marah ataupun sedih.

Aku juga gak mau pisah dari kalian, bahkan dengan perpisahan yang seperti ini.

Aku gak mau kehilangan sahabat seperti kalian, sahabat yang mau menerima aku apa adanya.

Tapi gimana? Aku gak bisa bikin kalian khawatir. Aku gak mau gara-gara aku, kuliah kalian jadi terhambat.

Meski air matanya mengalir, Naila tetap mengukir senyuman dan menulis surat tersebut.

Mungkin ini memang cara Allah untuk menguji persahabatan kita.

Aku yakin di balik semua ini, pasti ada rencana indah yang udah Allah siapkan untuk kita.

Kalian juga gak boleh nangis, ya. Aku aja gak nangis, masa kalian nangis? Aku percaya kalian orang yang kuat.

Satu hal yang harus kalian tau. Meski kita berpisah sejauh apapun, kalian masih tetap menjadi sahabatku yang terbaik.

Dan aku yakin, kita akan dipertemukan kembali dengan cara-Nya. Percaya, rencana Allah itu lebih indah dibanding apapun.

Aku harap, kita dapat bertemu kembali di Jannah-Nya. Karena kita adalah sahabat, baik di dunia maupun di akhirat. Aamiin ...

Aku tunggu kalian di sana, ya.

Wassalamualaikum.

Sukses, setelah menulis surat tersebut Naila sukses menangis. Ia sudah tak kuasa menahan semua air matanya.

Otaknya memutar semua kenangan manis antara ia dengan sahabat-sahabatnya.

Mulai dari pertemuan mereka, Fanny yang saat itu masih benci dengannya, satu-persatu dari mereka yang mulai hijrah, bahkan Naila juga membayangkan bahwa mereka sudah sukses nantinya.

Namun, itu semua hanya kenangan belaka. Tak akan ada lagi canda tawa di antara mereka, karena sekarang mereka sudah terpisah.

Naila tersenyum ketika mengingat semua itu. Ia melipat kertas tersebut dan memberikannya kepada perawat.

"Sus, tolong masukkin ke dalam amplop, ya."

Perawat itu mengangguk kecil. "Baik."

Ia mengambil amplop di dalam laci lainnya dan memasukkan kertas itu ke dalamnya.

"Mbak. Kalo boleh saya tau, surat ini untuk siapa, ya?"

"Untuk sahabat saya, Sus. Nanti tolong kasih ke ayah, dan bilang sampaikan ke mereka, ya," pinta Naila.

Perawat itu kembali mengangguk. "Baik, Mbak."

Naila kembali menyeka air matanya. "Oh ya, Sus. Ini udah jam berapa, ya?"

"Sudah jam 5 sore, Mbak."

Naila berusaha untuk duduk. "Y-yaudah, kalo gitu saya mau shalat dulu, ya."

Sahabat Dunia Akhirat [SUDAH TERBIT] ✔Where stories live. Discover now