Part 7

116K 14.3K 647
                                    

Pagi ini seperti pagi-pagi biasanya aku sudah duduk di halte menunggu bus datang menjemput. Earphone yang terpasang di telingaku sedari tadi nonstop mengalunkan lagu-lagu patah hati yang sangat mencerminkan suasana hatiku saat ini.

Kemarin malam Yudha menelepon, dia bicara tentang banyak hal sementara aku hanya bisa diam tak tahu lagi harus mengatakan apa.

Dia bilang dia lelah dan tertekan. Hubungan kami membuatnya selalu mempertanyakan pada dirinya sendiri apa dia memang begitu tak pantas.

Segala yang dilakukannya tak pernah bisa mengambil hati orang tuaku. Karena satu hal yang diinginkan orang tuaku tak akan pernah bisa dimilikinya sekuat apapun dia berusaha, latar belakang keluarga.

Lalu dia berkenalan dengan anak bosnya, bos yang dia maksud adalah atasan langsungnya di kantor. Mereka juga berasal dari keluarga sederhana, yang berjuang dari bawah untuk mendapatkan kedudukan, bukan yang lahir dengan sendok emas di mulut seperti keluargaku.

Bersama wanita itu dia bilang dia merasakan ketenangan, dan mereka akan segera menikah karena keluarga juga sudah menyetujui.

Aku nggak mengerti untuk apa lagi dia menjelaskan dengan begitu terperinci. Apakah untuk mengurangi rasa bersalahnya? Atau malah untuk membuatku jadi merasa bersalah? Aku memang lahir dengan sendok emas di mulutku, dan keluargaku memang nggak pernah menyetujui hubungan kami. Jadi haruskah aku merasa bersalah?

Setelah mematikan sambungan telepon, aku jadi bertanya pada diriku sendiri, apakah memang cinta yang berbeda latar belakang sosial itu nggak akan pernah berakhir bahagia?

Sedari kecil aku selalu merasa nggak nyaman dengan adanya tingkatan-tingkatan status sosial yang menurutku sangat tidak masuk akal.

Aku sedih saat melihat Oma membentak-bentak asisten rumah tangga kami. Seringkali aku tak terima saat Opa memandang rendah orang-orang kampung yang terkadang datang meminta sumbangan.

Papa dan Mama mungkin tak separah Opa atau Oma, tapi aku tahu mereka juga punya pola pikir yang sama, merasa lebih tinggi dari orang lain karena harta, walaupun dalam penyampaiannya tidak seterus terang Opa ataupun Oma.

Saat SD, aku sekolah di sekolah swasta mahal yang isinya hampir semua anak-anak yang terlahir dengan sendok emas di mulut, keturunan dari para crazy rich Surabaya. Dan saat aku duduk di bangku kelas 5 atau kelas 6, aku mulai merasa tersiksa.

Pergaulannya terlalu sempit, aku hanya bertemu orang yang itu itu lagi, membicarakan hal yang itu itu lagi. Segalanya tentang barang mewah dan liburan ke luar negeri. Maka saat SMP aku ngotot minta sekolah di sekolah negeri.

Tentu saja nggak ada yang setuju, nggak ada ceritanya keturunan Joesoef sekolah di sekolah negeri, tapi aku tetap pada pendirianku. Aku bahkan mengancam mogok belajar kalau tetap dipaksa sekolah di sekolah yang aku tak nyaman ada di dalamnya.

Saat aku pacaran dengan Yudha, berkali-kali aku mendengar Mama menangis dengan gayanya yang dramatis mengungkapkan penyesalan kenapa dulu membiarkanku sekolah di sekolah negeri hingga akhirnya bertemu dan pacaran dengan pemuda seperti Yudha.

Rasa marah dan kecewa rasanya membuncah di dadaku. Apa maksudnya dengan pemuda seperti Yudha? Bukankah semua manusia itu harusnya punya derajat yang sama? Aku tak terima dan tak tahan lagi mendengar segala kenyiyiran dari semua orang rumah sehingga saat lulus SMA aku memutuskan untuk kost.

Sejak itu aku nggak pernah lagi tinggal di rumah. Hanya pulang saat weekend atau saat ada acara-acara yang mengharuskan kehadiranku.

Sejak SMP hingga sekarang, jarang sekali ada yang tahu kalau aku anak dari keluarga berada. Bahkan Yudhapun awalnya nggak tahu.

Amoxylove (COMPLETED)Where stories live. Discover now