Part 5

129K 15.1K 1.5K
                                    

"Bapak, tadi maksudnya apa sih?" Aku menatap gusar ke arah Pak Abhi saat hanya tersisa kami berdua di ruangan meeting.

Aku masih tak habis pikir, bagaimana mungkin dia bisa berpikiran untuk melamarku padahal nggak ada sedikitpun perasaan romantis di antara kami?

Pak Abhi menatapku lurus dengan wajah datar yang membuatku nggak bisa menebak apa sebenarnya yang ada di dalam pikirannya.

"Bagian mana yang kurang jelas dari kata-kata saya tadi?" Bukannya menjawab dia malah balik bertanya.

"Bagian dimana Bapak mengatakan akan segera melamar saya," jawabku tajam.

"Nah itu sudah jelas," balasnya santai membuat rasa kesalku naik hingga ke ubun-ubun.

"Tapi kenapa?" Rasa kesal bercampur bingung membuat suaraku melengking nyaring.

Dan lebih kesal lagi melihat wajahnya yang tetap tenang tanpa ada tanda-tanda rasa bersalah sedikitpun.

"Kenapa nggak? Saya merasa kita cocok. Kamu cantik, pintar, punya hati yang baik dan berasal dari keluarga baik-baik. Saya juga begitu, well bukan cantik of course, saya ingin mengatakan tampan tapi kamu pasti akan memutar bola mata, so let just say...handsome." Aku langsung memutar bola mata dan dia terkekeh seperti sudah menanti aku akan melakukan itu.

"Itu semua nggak bisa jadi dasar suatu pernikahan, Pak," protesku sinis.

Selama ini setiap membayangkan pernikahan, satu-satunya lelaki yang ada di benakku adalah Yudha. Dia cinta pertamaku yang juga kuharapkan menjadi cinta terakhirku. Namun apa daya ternyata sekarang harapan tinggal harapan, jadi bagiku pernikahan juga hanya tinggal bayangan semu.

Tetapi walaupun Yudha sudah angkat kaki dari sketsa hidupku, aku tetap meyakini cinta sebagai landasan utama dalam pernikahan.

"Pikirkan baik-baik, Sher. Look at me, saya calon suami dan calon menantu idaman. Papa kamu terang-terangan ingin saya jadi menantunya, itu poin paling penting, kan?"

Dan sekarang dia mempromosikan dirinya sendiri. Jadi begini kalau Direktur Marketing yang terhormat sedang melamar. Aku menghela napas lalu menatapnya serius.

"What about love? Beberapa orang termasuk saya percaya kalo poin terpenting itu cinta, Pak," ucapku setenang mungkin.

Orang seperti Pak Abhi harus dihadapi dengan kepala dingin, kalau nggak kita sendiri yang akan frustasi.

"Well, buat saya cinta juga penting, tapi tetap yang paling penting dan menempati urutan teratas adalah restu. Saya nggak akan menikahi orang yang saya cintai jika orang tua saya nggak setuju," jawabnya, masih dengan nada lempengnya yang mengesalkan.

Aku mengepalkan kedua tanganku erat di bawah meja. Jadi sekarang dia menyindirku? Apa dia tahu kalau demi Yudha aku meninggalkan rumah? Kalau demi Yudha aku rela menentang kedua orang tuaku? Aku bukan gadis yang mudah menangis, tapi saat ini rasa kesal dan amarah yang semakin memuncak membuat mataku terasa panas.

Dia nggak berhak menghakimiku, tahu apa dia tentang hubunganku dengan Yudha atau tentang hubunganku dengan kedua orang tuaku? Atau mungkin dia memang nggak tahu, mungkin itu memang prinsipnya dan dia sama sekali nggak bermaksud menyindirku. Aku menghela napas berat, berusaha mengontrol emosiku.

"Setidaknya kita sepakat tentang satu hal, kalau cinta juga penting. Dan Pak Abhi nggak mencintai saya, begitu juga sebaliknya, jadi sebaiknya kita lupakan saja pembicaraan ini." Aku sudah hendak bangkit namun suara beratnya menahanku.

"Saya tertarik sama kamu, itu modal yang sangat penting. Buat saya jatuh cinta itu mudah, saya jatuh cinta pada semua mantan pacar saya, tapi toh akhirnya mereka menjadi mantan. Jadi bagi saya tantangan yang lebih berat adalah mempertahankan cinta. Selama ini, putus selalu menjadi solusi jika ada masalah atau jika rasa bosan melanda saat pacaran. Jadi saya ingin opsi itu dihilangkan, dan satu-satunya jalan adalah dengan pernikahan," jelasnya panjang lebar yang membuatku semakin melongo.

Amoxylove (COMPLETED)Where stories live. Discover now