17

305 33 6
                                    

Hello! Please hit the star button to give me appreciate. It means a lot. Thank you!

L•A•K•S•I

Laksi serius menatap teman-teman serta penyitas lainnya. Di belakangnya, Kala duduk diam menyimak. Suasana tegang melingkupi ruang rawat inap yang ditempati Laksi.

"Lo jangan gila, Bathari Laksi." Dee menekan kata-katanya, pria itu jelas menunjukan ketidaksetujuan dan emosinya.

Laksi menatap Dee tenang, sorot matanya kosong menyiratkan keseriusan. "Ini ide bagus, De. Kalau gue ikut di dalamnya, mereka pasti bakal lebih cepat memproses. Bukannya merendahkan, tapi kalau korbannya cuma Una dan yang lain, rasanya bakal kurang. Butuh dua orang public figure biar kasus ini tetap disorot media dan banyak yang kawal." Dee tetap ngotot tidak setuju meski belum ia ungkapkan. Ia mengepalkan tangan erat menahan emosi.

"Tapi engga dengan nyeburin diri lo dong. Kita ga bisa kontrol dia, nanti kalau kebablasan gimana? Kalau lo beneran diperkosa sama rajungan itu."

Laksi tertawa. "Ya bagus dong. Lebih gampang buat kita jeblosin dia ke penjara." Matanya menatap nyalang pada Dee yang menatapnya tak kalah tajam.

"Dee, ide dari Laksi bagus juga. Kita perlu dia, media pasti bakal nyorot berita ini kalau ada dua orang terkenal yang jadi korban."

Dee berganti menatap Ron dengan tajam. "Kenapa harus Laksi?"
Ron mengacak rambutnya asal. "Lo mau Swas yang kita korbanin? Itu lebih bodoh, Dee. Kalau Laksi, gue percaya bisa hajar Frans."

Ruangan itu hening, Laksi menatap Dee meyakinkan. Laksi paham kekhawatiran pria itu, tetapi tekadnya pun sudah bulat. Ia siap menanggung resikonya asal kasus ini ditindak tegas.

"Maaf saya ikut campur. Tapi rasanya kalau melemparkan Laksi sebagai umpan hanya karena dia kuat rasanya tidak pantas. Rencananya besok 'kan? Laksi masih sakit." Suara dari sosok yang tak diduga terdengar membuat seisi ruangan menatapnya.

Laksi menggeleng, ia menghadapkan dirinya pada Kala, "engga masalah, Kala. Ini cuma tifus, cuma berasa seperti demam biasa di aku. Aku tahu batas kekuatan ku kok." Laksi mengacak surai hitam itu lembut. Ia tersenyum meyakinkan kalau ia baik-baik saja dan kuat untuk melindungi dirinya.

"Laksi benar, Kala. Bagi kita tifus itu menyiksa, tapi tubuh Laksi emang ngga masuk akal. Tifus begini berasa kayak demam karena minum es doang." Itu suara Una. Wanita itu sejak tadi hanya diam kalau tidak ditanya. Katanya sih ia mual karena bau rumah sakit. Padahal dulu Una bolak-balik datang ke rumah sakit untuk kencan dengan seorang dokter spesialis tulang. Halah, ini antara hormon ibu hamil dan rasa gagal move on yang bersatu.

"Setuju ya sama rencananya? Kalian bisa awasi dari jarak yang ditentukan. Tenang, gue jamin rencananya berhasil." Laksi nenyeringai, entah apa yang ada di otak gadis itu.

>>><<<

Ruang rawat inap Laksi telah kembali sepi. Semua tamunya berpamit pulang saat jam makan siang telah habis. Dee dan Ron berjanji akan datang nanti setelah jam kerja mereka selesai. Sedangkan Swastika hanya bisa berjanji tak pasti, perempuan itu tidak tega meninggalkan Una sendirian.

Kini di ruangan itu hanya tersisa Laksi dan Kala. Pria itu memutuskan untuk tidak kembali ke kantor. Katanya ia tengah lowong, semua deadline nya telah rampung. Laksi asik menonton tayangan kartun pada televisi di depannya. Matanya berbinar menatap dua bocah kembar yang tidak juga lulus TK. Sesekali ia mengatai adegan yang terlihat bodoh, atau tertawa dengan kelakuan barudak Kampung Durian Runtuh itu.

Kala memperhatikan beragam ekspresi perempuan di sampingnya saat menyaksikan tayangan tersebut. Perempuan ini terlihat menggemaskan ketika bibirnya dimonyongkan karena iklan di stasiun televisi yang saking lamanya bisa ia tinggal mencari ketujuh bola naga lewat jalur lawan arah.

"Kamu serius dengan ide mu itu, Laksi?" Pertanyaan Kala membuat Laksi menolehkan kepala. Perempuan itu menyeringai. "Memang kenapa?"

Kala menghendikan bahunya. "Tidak ada. Hanya saja apa dia tidak curiga dengan mu? Kamu teman Una 'kan? Harusnya dia tahu."

Laksi tertawa, "otaknya lebih kecil dari kepiting. Dia ngga tau aku teman Una. Kala, aku sudah mencari informasi sebelum mengambil keputusan seperti ini."

"Kamu serius? Dia pria, Laksi. Tenaganya lebih besar dari tenaga perempuan, tentu dia ngga semudah itu buat kamu lawan." Dahi Kala berkerut saat menyampaikan gagasannya, pria itu jelas tengah serius.

Laksi tersenyum tulus, ia menepuk bahu Kala, "aku tahu. Aku tahu kemampuan ku. Kalau gagal pun ya sudah, anggap saja memang sedang one night stand. Semudah itu. Kalau gagal menjebak ya sudah nikmati saja." Laksi mengelus surai belakang Kala.

Raut wajah terkejut terpampang jelas di muka Kala. Wajahnya kini semerah tomat, bahkan telinganya pun memerah. Laksi malah dibuat sama terkejutnya mendapati Kala merasa malu dengan hal seperti ini. "Seriously, Kala? You haven't ever done that?" celetuk Laksi. Oh astaga, pria ini berasal dari negeri mana sih? Atau sebenarnya Kala ini biksu? Ah tidak.

Kala mengangguk malu. "Hah? How long have you been here? How old are you?" Laksi tertawa kecil tak habis pikir. Atau Kala ini aseksual? Dengan pikiran jahilnya, Laksi menarik kepala Kala yang sedari tadi ia elus rambutnya. Jarak wajah keduanya hanya tinggal lima centi. "Are you normal, Kala?" Laksi berbisik di telinga pria itu lantas memberinya sebuah gigitan kecil. Setelahnya Laksi menjauhkan wajahnya, memandang Kala lekat dan sebisa mungkin menyembunyikan raut gelinya.

Wajah Kala semerah apel sekarang. "Saya normal." Ia berkata dengan terbata. Laksi semakin menyeringai di batinnya. "Really?" Kala mengangguk kaku.  "Kiss me then." Mata Kala membulat terkejut, wajahnya masih memerah. Astaga Laksi ingin meledakkan tawanya tapi ia belum selesai bersenang-senang.

"No."

"Why?"

"I said no."

"You're not normal, eh?"

"I'm not. But I won't do it."

"Why?"

"No reason, just no."

"Oh, you prefer a man instead?"

"That's not too."

"Then kiss my lips."

"Why should I?"

"No reason." Laksi tersenyum mengejek. Ia berhasil membalikan perkataan pria itu. Ia melepaskan cengkramannya pada kepala belakang Kala.

Laksi tertawa lebar menikmati wajah Kala yang mirip apel. Ia sudah tak tahan untuk tidak tertawa. Suara tawanya mengisi ruangan ini. Kala merasa dipermainkan. Wanita ini benar-benar.

Laksi menikmati tawanya hingga pada sepersekian detik wajahnya ditarik menyamping dan ia merasakan sesuatu yang hangat menyentuh bibirnya.

Sialan!
Perempuan yang baru saja tertawa tanpa henti itu lupa berkedip saking terkejutnya.

"Sudah saya bilang, saya normal."

>>><<<

Halo, halo!
I'm back after long months. Sebenarnya aku udah hopeless dengan Laksi, tapi akhir-akhir ini notifikasi Wattpad ku ngga cuma update cerita yang ku ikuti! Ternyata masih ada yang baca cerita ngga jelas ini. I'm so happy!
Thank you for reading this lame story. I'm going do my best to finish it. Wish me the best please!

Stay safe everyone, please wear mask and keep the distance!

Xoxo,
@whyeast

Vous avez atteint le dernier des chapitres publiés.

⏰ Dernière mise à jour : Feb 11, 2022 ⏰

Ajoutez cette histoire à votre Bibliothèque pour être informé des nouveaux chapitres !

LAKSIOù les histoires vivent. Découvrez maintenant