05

270 53 0
                                    

Hi! It's me, Rae. Apa kabar hari ini? Gimana harinya? Semangat ya. You're doing great today. Jangan lupa pakai masker. Stay safe and stay healthy. I wuf u.
If you don't mind, please press the star button and hit the comment section.  Thank you, dear. Happy reading!

>>><<<

Laksi menghembuskan napas berkali-kali. Ia memijat pelipisnya sebentar lalu menilik arloji di pergelangan tangannya. Jarum pendek menunjuk angka 2 dengan jarum panjang menunjuk angka 6, menandakan ia telah membahas serba-serbi brand nya selama 4 jam tanpa henti setelah puas menggoda Kala.

"I'm hungry, Jule." Jule yang tadi sibuk dengan catatannya kini menilik jam tangannya dan nenatap Laksi serta Kala. "It's half of three. Are we late for lunch?" Jule menaikan satu alisnya ditanggapi dengusan oleh Laksi. Mereka memilih memesan makanan dari cafe di dekat sini. Laksi menghubungi cafe langganannya untuk memesan sejumlah makanan dan diantarkan ke galerinya.

Kala memperhatikan gerak-gerik Laksi seksama. Bagaimana cara Laksi mengucapkan sapaan dari telepon, bagaimana ekspresi  perempuan itu saat berusaha mengingat menu, atau bagaimana tawa yang lepas saat ia melempar guyonan kecil pada lawan bicaranya. Tentu saja dengan senyum bulan sabitnya saat mengucapkan terima kasih lalu mengakhiri panggilannya. Satu hal yang bisa Kala simpulkan, Laksi adalah sosok perempuan yang ramah dan hangat.

Laksi yang jelas merasa diperhatikan menatap balik Kala. Memperhatikan wajah Kala yang langsung merah dibuatnya dan caranya bersikap seolah tidak ada yang terjadi. Struktur wajah Kala tidak seperti dewa Yunani yang diceritakan orang. Tidak. Daripada tampan, pria ini lebih memenuhi kriteria manis dan imut. Diamond face shape dengan kedua pipi yang sedikit tembam tetapi garis rahangnya tetap tegas. Dengan potongan rambut side fringe hitam alami, Kala tampak keren dan imut dengan tahi lalat kecil dibawah bibirnya.

"Is it grey?" Suara Laksi yang keluar tanpa tendeng aling-aling menghentikan kegiatan Kala dan Jule menikmati rosegem buatannya sebelum ke Jogja dua hari lalu. Jule menatap heran pada Laksi. Perempuan ini kesambet ya? pikirnya. Berbeda dengan Kala yang kesusahan menelan makanannya.

"Ya," cicit Kala. Pria itu tersipu malu, tentunya hal itu mengundang tawa Laksi. Sedangkan Jule mengerutkan kening, "mata mu abu-abu?" Sekali lagi Kala mengangguk.

Laksi menghentikan tawanya dan menenggak air mineral yang diberikan Billy tadi, "How could you get it?" Kala terdiam beberapa saat, memperhatikan binar penasaran pada mata Laksi. "My mom." Laksi mengangguk puas dengan jawaban Kala.

Entah mengapa Kala memakukan pandangannya kepada Laksi. Memperhatikan gerak-gerik perempuan itu ketika berinteraksi dengan Jule. Bagaimana pipinya bersemu tipis saat Jule menggodanya, atau saat ia melemparkan godaan pada Jule. Laksi tampak ringan tanpa beban. Perempuan itu terlihat lebih muda dan enerjik.

Lonceng pluit angin yang Laksi pasang di atas pintu galeri berbunyi. Seorang lelaki yang berada di usia tanggung mendekati meja mereka dengan dua paper bag besar ditangannya.

"Oh, hai Raka. Kamu tampak cerah hari ini." Laksi menghampiri lelaki tersebut dan membantunya membawa satu paper bag. Raka, nama lelaki itu, tersenyum membalas pujian Laksi. "Terima kasih, Laksi. Ini pesanan mu." Ia meletakkan tas besar di meja dan menghadap Laksi yang sudah siap dengan selembar uang berwarna merah dan selembar uang berwarna biru. "Sisanya kamu bawa saja, ya." Raka berterimakasih dan meninggalkan tempat itu setelah berbasa-basi sebentar, katanya cafe sedang ramai saat ini.

>>><<<

Laksi mengemudikan mobil menuju apartment nya. Seperti biasa perempuan itu memutar lagu-lagu kesukaannya. Menikmati karaoke di mobil.

Laksi memutuskan untuk mampir di sebuah toko buku dekat kawasan apartment nya. Memarkirkan Honda Civic kesayangannya, lalu memasuki toko buku itu. Ia mendapat sapaan dari penjaga kasir dan dibalasnya dengan ramah. Matanya asik menekuri deretan rak buku berbagai genre itu. Ia membaca sinopsis dari buku-buku yang menarik hatinya kemudian memutuskan untuk membeli tiga buah buku. Dua buah novel dengan genre yang berbeda dan sebuah buku self-improvement.

Laksi melangkah menuju kasir dimana hanya ada satu antrian. Seorang pria berbadan tegap yang tampaknya tidak asing.

"Mohon maaf, Tuan. Kami tidak menerima pembayaran non-tunai." Sayup-sayup Laksi mendengar perkataan sang kasir ketika pria itu menyodorkan kartu kreditnya.

Pria itu mengacak rambutnya frustasi. Ia gelisah sambil membuka dompetnya. Di hadapannya ada sekitar lima buah buku yang cukup tebal. Kelihatannya pria itu bukan tipe orang yang biasa menyimpan banyak uang tunai di dompetnya.

"Toko ini tutup jam berapa?" Suara itu, Laksi mengenal suara itu meski baru saja ia kenali.

Laksi mendekati meja kasir.
"Pukul 8, Tuan." Pria itu melongok arlojinya dan berdecak. Oh, ini hampir pukul 8 dan kami pelanggan terakhir.

Pria itu mengeluarkan dua lembar uang merah, "yasudah ini saja dulu. Saya tidak bawa uang tunai." Pegawai kasir itu mengangguk.

"Permisi, berapa total belanjaannya?" Laksi menyela sebelum pria itu pergi.

Kasir itu menimang-nimang, "Lima ratus lima puluh ribu." Laksi mengangguk dan mengeluarkan tujuh lembar uang bergambar bapak proklamator Indonesia.

"Biar saya tanggung saja." Laksi tersenyum pada sang kasir, kemudian berbalik menatap pria itu, "Hai, Kala." Ya, pria yang sejak tadi kebingungan itu adalah Kala Krasa, lelaki yang tadi siang baru ia kenal.

Mata Kala membulat menatap seorang Laksi di sampingnya. "Laksi? Kok bisa?" tanya Kala terkejut. Laksi hanya terkekeh, "Jakarta sempit, Kala."

Laksi dan Kala berjalan beriringan keluar dari toko buku itu. "Di toko buku kecil seperti ini kamu harus menyediakan uang tunai, Kala. Mereka tidak menyediakan transaksi non-tunai," ujar Laksi, membuka pintu penumpang dan meletakkan paper bag berisi buku yang tadi dibelinya. Kala mengangguk, ia tidak biasa membeli buku di situ. Ia terdesak.

Kala menggaruk kecil pipinya,"oh, tolong berikan aku nomor rekening mu. Akan segera ku ganti." Laksi menggeleng, "tidak perlu." Kala tetap bersikeras ingin mengganti uang milik Laksi. Ia tidak suka berhutang.

"Astaga, Kala. Sudah ku bilang aku tidak menganggapnya sebagai hutang. Begini saja kalau kamu tetap ngotot, bagaimana kalau kita pergi ke CFD bersama weekend ini. Bagaimana?" Laksi menaik-turunkan alisnya. Laksi yakin pria ini akan mundur.

Terdiam sebentar, tampak mempertimbangkan. Ia membuka mulutnya lalu menutupnya lagi. Tiga kali hingga akhirnya ia hanya mengangguk. Laksi membulatkan matanya,"serius, Kala?" Kala mengangguk lagi, wajahnya merah padam.

Laksi tertawa kemudian berhenti ketika Kala menyodorkan sebuah benda kotak berwarna hitam yang layarnya menyala, ponselnya. "Berikan aku kontak mu," ia bercicit lirih. Tawa Laksi semakin menggelegar, ia terima ponsel pria itu lalu mengetikan nomornya yang langsung disimpan. "Ini."

Kala mengecek kontak Laksi.

My Laksi.

Laksi menyemburkan tawanya lagi saat memperhatikan perubahan muka pria itu menjadi merah merona.

"Astaga, you're too cute."

LAKSIWhere stories live. Discover now