14

123 22 2
                                    

Kini Laksi dan kawan-kawan telah siap menunggu panggilan penerbangan mereka. Kelimanya memilih berpencar dengan Swastika yang bersama dengan Una. Hal ini dilakukan guna menghindari kecurigaan orang-orang terhadap mereka.

Laksi memilih duduk sambil menikmati coklat hangat serta sepotong croissant. Jarinya dengan lincah mengetik balasan untuk Billy yang menanyakan perihal kepergiannya dan galeri.

Panggilan nomor penerbangan mereka telah diumumkan. Mereka tetap berpencar setelah di dalam pesawat. Ron memesankan bangku di kelas bisnis untuk mereka dengan jarak bangku yang lumayan jauh.

Laksi memilih untuk menutup mata selama penerbangan, syukur kalau ia dapat tertidur beberapa saat. Sungguh, saat ini ia merasa sangat letih dan butuh tidur.

Tiga jam kemudian mereka telah sampai di bandara El Tari, Kupang. Mereka melanjutkan perjalanan dengan mobil yang telah dipersiapkan oleh keluarga Una.

>>><<<

Setelah beristirahat beberapa saat. Ron, Swastika, De, dan Laksi telah duduk rapi di ruang keluarga.

Una terlihat sangat gelisah, Laksi paham kecemasan wanita itu, kalau (amit-amit) Laksi tertimpa nasib seperti Una pun ia akan sangat gelisah. Ron dan De terlihat lebih santai meski di benak mereka menyimpan kegelisahan. Laksi hanya menatap hampa ke depan. Ia tengah menyusun argumen dan berusaha menebak situasi kedepannya.

"Loh, ada apa ini?" Nyonya Tari, ibu dari Una berjalan beriringan dengan suaminya, Anton tersenyum hangat menatap teman dari putrinya.

Una semakin menunduk dibuatnya. Perempuan itu jelas merasakan banyak emosi di satu waktu. Swastika semakin mengeratkan genggamannya, memberikan dorongan pada sahabatnya.

Setelah terjadi perbincangan beberapa saat, Ron mulai berdeham dan membuka suara. "Om, Tante. Sebenarnya kami datang kemari untuk mengabarkan beberapa hal."

Ron menatap Laksi dan De secara bergantian. Ia pun menatap Una dengan pandangan meminta persetujuan. Perempuan itu mengangguk kecil.

"Sebelumnya kami meminta maaf kalau terkesan menyampuri urusan keluarga Om. Tapi, Una pribadi juga merasa terpukul dengan keadaan ini. Kami di sini hanya membantu menyampaikan kabar ini." Ron melanjutkan perkataannya. Ia merasakan remasan pada kemeja yang dia kenakan. Pelakunya adalah Swastika.

"Ada apa sih, Ron? Sepertinya tegang sekali." Pak Anton mulai merapikan posisinya. Pria itu merasa hal yang akan dibincangkan adalah sesuatu yang serius. Biasanya ketika keempat teman anaknya akan berlibur di sini, Una akan memberikan kabar jauh-jauh hari. Bukannya mendadak seperti kemarin. Jelas Pak Anton dan Bu Tari merasakan kejanggalan pada kedatangan mereka kali ini.

Ron berdeham. "Una kini sedang mengandung, Om." Setelah pernyataan itu dilontarkan. Ruangan itu terasa mencekam. Hening bahkan tanpa deru nafas.

"Maksudnya?" Pak Anton mati-matian berusaha menemukan akal sehatnya. Ia masih tak paham. Banyak pikiran buruk yang berkecamuk di otaknya. Bu Tari setia membisu dengan tangan menutup mulut. Perempuan itu jelas syok berat.

"Una mengalami pemerkosaan beberapa minggu lalu, Om. Kami baru mengetahui ketika dia datang ke tempat Laksi dengan foto ini." De meletakan foto hasil usg Una. Seonggol janin yang mirip biji kedelai terlihat di sana.

Pak Anton mengetatkan rahangnya. Sementara itu, lelehan air mata bu Tari mulai turun. Perempuan itu syok berat mengetahui nasib buruk menimpa anaknya.

"Bagaimana bisa?" Pak Anton berkata dengan nada tinggi. Kini Laksi yang unjuk suara. Perempuan itu menjelaskan kronologi yang menimpa Una. "Ini semua bukan kesalahan Una, Om. Semuanya murni kesalahan pelaku." Laksi menutup penjelasannya.

LAKSIWhere stories live. Discover now