13

144 22 0
                                    

Hello, how r u? Long time no see, ya.
Sorry, aku sangat messy akhir-akhir ini. Well, i have nothing to say. So, stay healthy and please wear ur mask. Kasus COVID-19 udah sangat tinggi. Stay safe!
Happy reading and please leave your comment and votes there. Thanks dearrr.

>>LAKSI<<

Laksi duduk di pojok ruangan, tangannya menggenggam ponsel tetapi sorot matanya menatap hampa ke depan.

Ponselnya bergetar beberapa kali, tanda beberapa pesan masuk. Laksi hanya melihat sekilas. Sungguh, ia sedang malas melakukan apapun. Ia berhasil menyelesaikan dua koleksinya. Tinggal satu lagi dan Laksi memilih berhenti sejenak.

Suara pintu dibuka kemudian ditutup kembali ia abaikan.

"Laksi, Una bilang dia mau penjarain Frans kalau sudah banyak korbannya." Swastika duduk di samping Laksi yang penampilannya cukup berantakan. Perempuan itu tampak pucat. Wajahnya tidak dipoles apapun termasuk pelembab bibir. Rambutnya dicepol asal.

"Ga masalah. Kita tunggu dua sampai tiga hari lagi. Ron, gue, dan De udah ngurus itu semua," ujar Laksi tanpa ekspresi.

Swastika mengangguk kecil. "Mereka masih ngurus ini sekarang?" Laksi mengiyakan.

"Berarti kita ke rumah orang tua Una tiga hari lagi?" Laksi membenarkan letak kacamatanya. "Iya, Swas. Nanti urusan akomodasi katanya si De yang urus. Pening banget gue, udah banyak kerjaan, ada beginian lagi."

"Ga nyangka sih, Ci. Una sahabat kita diginiin. Gue ga terima." Swastika meluruskan kakinya. Laksi mengangguk setuju. Ia pun tak terima sahabatnya mengalami kejadian mengenaskan seperti itu.

"Kita ga mungkin nutupin ini dari media. Pasti bakal ketahuan." Swastika menatap tembok di hadapannnya hampa. Perempuan itu tak kalah pusing dengan Laksi. Ia paham betul bagaimana kerasnya media.

Laksi terdiam, ia pun sangat clueless harus apa. Kalau urusan mencarikan pekerjaan lain sih mudah. Una itu cerdas, mempercayakan salah satu butiknya pada wanita itu bukan suatu hal bodoh. Namun, yang lebih ia khawatirkan adalah kondisi psikis perempuan itu. Laksi paham betul kalau masyarakat belum bisa sepenuhnya tidak menghakimi penyitas pemerkosaan. Una pasti akan menuai banyak hujatan atau sumpah serapah.

"Kalau buat nyari kerjaan itu gampang sih. Dia bisa pegang salah satu butik gue atau restoran Ron. Keluarganya pun punya bisnis kan. Tapi gua khawatir omongan orang sih, itu bisa ganggu psikisnya banget. Sedangkan kita ga mungkin bungkam semua media." Laksi membuka laci meja kerjanya. Mengambil sebungkus rokok dan pemantik.

Ia menawarkan rokoknya pada Swastika yang ditanggapi gelengan, "gue stop. Lo juga stop dong." Laksi hanya tertawa menanggapinya. Ia butuh pelampiasan dan samsaknya tidak berada di sini. Mungkin cuma rokok yang bisa dijadikan pelarian.

"Yaudah gua keluar dulu. Kalau Una bangun, lo tungguin ya." Laksi tidak bisa merokok di samping orang yang tidak merokok. Lagian ruang kerja dan kamar nya hanya disekat pintu. Asapnya bisa masuk ke dalam kamar yang ditempati Una itu.

>>><<<

Ia duduk di kitchen island dengan kotak rokok, pemantik, serta asbak. Daripada membakar selinting rokok seperti tujuannya tadi, Laksi memilih memeriksa ponselnya. Ia memantau info yang diberikan oleh orang suruhannya mengenai korban dari Frans.

Sungguh Laksi ingin menyalakan pemantik api kemudian membakar rokoknya, tetapi sekuat mungkin ia tahan. Bukan hal mudah untuk berhenti merokok dan jelas ia tidak ingin mengacaukan pencapaiannya. Ia tidak mau terlarut dalam nikotin dan tart lagi. Hanya membuang uang saja. Lebih baik ia kumpulkan untuk orang yang membutuhkan.

Laksi baru mendapat informasi seorang korban dari Frans. Menurut kabar yang diberi De, ada lima orang korban pemerkosaan oleh Frans, tidak termasuk Una.

Ron sudah mengurus kontrak kerja Una di beberapa stasiun televisi. Ia pun sudah menyiapkan tim kuasa hukumnya untuk melawan Frans habis-habisan. Membuat pria itu dihukum selama-lamanya. Kabarnya kasus tali air atau pemerkosaan akan mendapat perlakuan bengis di dalam sel. Hah, makan itu pecundang.

De sendiri fokus mengerahkan koneksinya untuk mencari informasi tentang korban yang pernah dilecehkan Frans. Ia tentu saja berusaha mengontrol media. Pokoknya sebelum mereka membawa ini ke meja hijau kasus yang satu ini jangan sampai bocor.

Swastika sebagai perempuan paling lembut sebisa mungkin mengurus Una dan memberi dukungan moral. Ia berperan sebagai penyeimbang De, Ron, dan Laksi yang meletup-letup. Nantinya Swastika akan mengontrol berita yang dikeluarkan media saat kasus ini keluar.

Dan terakhir, Laksi dengan koneksinya untuk mencari kelemahan Frans serta mencari back up orang dalam untuk kasus ini. Laksi juga berencana menyiapkan aksi balas dendam untuk Frans.

"Aci!" suara cempreng Billy menusuk rungu Laksi. Lelaki itu memilih duduk di depan Laksi.

"Gue dapet kabar katanya Frans pernah lecehin waria di Nirmala Club." Kalau Billy sudah bersuara dengan normal tanpa nada mendayu-dayu dan bahasa kaumnya, berarti pria itu tengah serius.

"Lo serius?" Laksi menegakkan tubuhnya. Lumayan, satu lagi korban yang akan ia gunakan untuk memenjarakan Frans.

Billy mengangguk yakin. Ia menunjukan ponselnya yang menampilkan seorang transpuan yang meringkuk ketakutan karena dipojokan oleh seorang pria. Wajah pria itu tampak dari samping. Ini Frans!

"Dia ini biasa nyari mangsa di Nirmala. Biasanya kalau ada cewek yang deketin dia, dia bakal traktir minum terus pegang-pegang. Tapi kadang dia pindah ke Lux sih. Dia tuh nafsunya gede tapi ga mau modal! Maksa anak orang aja." Billy bercerocos panjang. Bibirnya mayun-manyun.

"Lo bisa nolongin gua kan? Tolong lo urus kenalan-kenalan lo yang jadi korban si Frans. Lo minta bukti-bukti sekaligus lo yakinin buat laporin si bejad itu. Gue, Ron, sama De yang jamin." Terbesit sebuah ide di pikiran Laksi mengenai hal ini. Yang jelas ia harus segera mengumpulkan para korban.

>>><<<

Laksi, Ron, serta De tengah berkumpul di ruang tamu Galeri milik Laksi. Di meja tersebar beberapa lembar kertas serta foto-foto bukti.

Laksi menghela nafas berat. Ia memutuskan menutup galerinya selama Una masih berada di sini.

"Kita harus ngumpulin mereka secepatnya. Biar mereka yakin dan tahu kalau mereka engga sendiri. Kalau Frans sudah sekurang ajar itu. Tujuh orang sudah cukup banyak, kan?" Laksi berkata tegas. Pokoknya kasus ini harus segera selesai.

Ron dan De mengangguk setuju. Dua hari lagi mereka akan mengumpulkan para korban di Galeri Laksi.

Una dan Swastika dipanggil untuk turun. Mereka harus membicarakan mengenai keberangkatan menuju kediaman keluarga Una di Kupang, NTT.

"Besok jam lima pagi kita udah harus di bandara. Una, lo udah hubungi orang tua lo kalau kita mau ke sana?" Ron bertanya pada Una yang menunduk lesu. Perempuan itu mengangguk kecil.

"Bagus. Sekarang kita pulang, kita nginep di apartment De aja. Biar besok kita berangkat bareng dan lebih dekat." Pernyataan Ron disetujui seluruh temannya.

"Lo tenang aja ya, Na. Kita bakal bantu lo. Kita ada buat lo." Laksi mengelus pundak sahabatnya, berusaha memberikan ketenangan.

Laksi tidak paham apa yang ada dipikiran para bajingan pemerkosa dan ia tidak akan mau paham. Bagi Laksi pemerkosaan adalah salah satu tindakan amoral yang tidak dapat diampuni. Bahkan rasanya kematian terlalu bagus untuk mereka.

>>><<<

LAKSIWhere stories live. Discover now