01

998 104 29
                                    

Di sebuah kursi santai berbahan jati asli seorang perempuan duduk sambil menatap tab nya dengan teliti. Di hadapannya pun tersebar kertas-kertas penuh coretan yang membentuk pola-pola busana. Disalinnya pola tersebut keatas tab yang ia pegang.

"Nduk, Laksi.." panggil suara lembut perempuan paruh baya. Ia duduk dengan anggun di kursi samping perempuan dengan nama Laksi itu.

"Dalem, Bu."

"Ngapain toh di sini, sudah sorop ini lho, ayo masuk," ajak ibu dari Laksi.

"Nanti saja, Bu. Nanggung ini sebentar lagi selesai."

"Wes toh, masuk dulu. Nanti dilanjut setelah makan."

Laksi tetap bersikeras untuk melanjutkan gambarnya di teras samping rumah nya. Toh ia hanya perlu merampungkan bagian bawah dari gaun yang tengah ia gambar.

"Sebentar lagi kok, Bu. Ibu masuk dulu saja. Aku kurang sedikit kok."

Bu Adya menggela napas, ia berdiri dari duduknya dan mengamati putri bungsunya yang fokus menekuri rancangan gaun terbarunya.

"Nduk, nduk. Yaudah ibu tak masuk dulu. Kamu jangan kelamaan ya di luar. Nanti bapak mu marah."

Laksi mengangguk acuh. "Bapak kan memang marah-marah terus, Bu. Udahlah, ibu masuk dulu sana. Nanti dicariin bapak."

Bu Adya menggeleng pasrah. Kedua anaknya memang sering kali bersitegang dengan sang bapak. Keduanya mulai membangkang setelah menginjak bangku SMP.

-:-:-:-

Diatas meja jati besar tersaji beraneka masakan khas jawa yang menggugah selera. Sebuah kursi terletak di tiap sisinya.

"Wah, ibu masak apa aja?" tanya Laksi ceria. Perempuan itu tampak segar dengan celana pendek dan crop top tee yang diberi dalaman tanktop. Rambut ombre coklat-pink pastel-nya dicepol asal.

"Ini lho bapak minta urap, tempe, sama ikan asin."

Laksi tersenyum lebar. Itu makanan kesukaannya. "Besok tolong masakin aku oseng pepaya dong, Bu," pintanya.

"Iya. Itu bapak sama Mas Kae dipanggil sana."

Laksi menurut. Ia memanggil sang kakak dan bapaknya untuk makan malam.

"Laksi, rambut mu itu nggak ada warna lain yang lebih mencolok apa?" tanya Pak Tria, ayah Laksi dengan nada jengkel.

"Oh ada dong. Bapak mau warna apa? Hijau neon, biru, ungu? Ayo sebut aja biar nanti pas Laksi pulang warnanya sesuai sama maunya bapak."

Pak Tria mendelik.

"Tapi bulan depan Laksi nggak pulang, sih. Laksi mau ke Bali." Laksi mengendikan bahunya kemudian menyantap makan malamnya tanpa menunggu sang bapak.

"Laksi, tunggu bapak dan yang lain, dong," tegur ibunya. Kelakuan Laksi memang kerap kali membuat kedua orang tuanya geram. Padahal yang dilakukan perempuan itu normal-normal saja. Itu menurut perempuan dengan tinggi 157cm itu tentunya.

"Keburu laper, Bu. Bapak kayaknya masih betah ngomel. Toh aku makan duluan dunia ga bakal langsung kiamat."

Bu Adya menggeleng, "engga gitu, Laksi. Tapi kan ga sopan kalo kamu makan duluan."

Laksi mengangkat satu alisnya, "ibu ku sayang, aku makan dengan posisi normal. Kaki ku ga naik atau apapun itu. Ini sopan, ya. Udah deh, makan sambil ngobrol itu ga sopan."

Bu Adya hanya dapat menghela nafas melihat kelakuan sang anak.

Keluarga Bhanuresmi memilih untuk memulai makan malam dengan tenang dari pada merecoki Laksi. Yang ada malah dongkol sendiri.

LAKSIWhere stories live. Discover now