Serafina Ara
Aku nggak nyangka
Sekalinya ngehubungin kamu ngedeklarasiin nyerah gitu aja

Kirino Isha K
Aku belum selesai
Malem minggu besok pulang?

Serafina Ara
Pulang
Aku selalu pulang, Kirino

Kamu yang nggak pernah pulang ke rumah.

Kirino Isha K
Antologi jam 7?
Aku jemput

Serafina Ara
Boleh
See you

Kirino Isha K
Sampe ketemu, cantik

Serafina Ara
Hadah...
Jangan kayak gitu (deleted)

Bayangannya secara tiba-tiba menyerbu bersamaan dengan beberapa potongan kejadian yang tiba-tiba saja menyeruak di tengah malam setelah aku menyelesaikan satu materi dan memutuskan untuk menggulung diri di dalam selimut, membuatku kembali menangis sendirian dan melewatkan waktu tidur malam. Menenggelamkan diriku yang sudah baik-baik saja selama beberapa hari ini.

Sabtu petang aku berdiri di teras, disuguhi pemandangan segar dari beberapa tanaman yang dirawat oleh Papa setiap hari Minggu pagi sebelum kami pergi ke gereja. Aidan tidak pernah absen menyirami tanaman-tanaman itu setiap pukul enam sore ketika anak itu sudah selesai dengan urusannya. Air yang masih menggenang di paving memberikan kesan segar.

Saat ini masih pukul setengah tujuh, tapi aku sudah bersiap di teras untuk menyambut kembali Kirino. Laki-laki itu biasanya akan datang lebih awal dari waktu yang sudah ia janjikan. Gemuruh bahagia bercampur takut lantaran tidak sabar kembali bertemu membuatku merasa sedikit gugup. Pukul tujuh malam kurang lima belas menit, suara sepeda motor yang aku sudah hafal betul bagaimana si pemilik menghentikannya menelisik indera pendengaranku.

Kirino berdiri disana, lengkap dengan kemeja kotak-kotak berwarna hitamnya. Kemeja yang pernah ia pakai ketika kami pergi bersama di malam Minggu pertama kami. Seulas senyum terukir di wajahnya. Aku buru-buru menyambar helm dan berjalan ke arahnya kemudian membalas senyum itu.

Laki-laki itu menepati janjinya.

"Akhirnya ya, Ra. Maaf aku naik motor nggak bawa mobil."

"Lah, biasanya kan juga kayak gitu? Berangkat sekarang yuk."

Setelah memastikan aku sudah duduk dengan nyaman di atas jok motornya, laki-laki itu memacu sepeda motornya dan bergabung dengan pengendara lain di jalan. Kami tidak bicara banyak, tapi tangan kanannya sempat meraih tangan kananku yang bertumpu di lutut untuk sesaat ketika kami berhenti di lampu merah.

Antologi cukup ramai pengunjung mengingat ini adalah malam Minggu. Tapi beruntungnya, sudut favorit kami sejak SMA itu masih belum diisi oleh siapapun. Kami kembali duduk berhadapan untuk sesaat setelah memesan menu pilihan masing-masing. Kemudian tidak lama salah seorang karyawan meletakkan pesanan kami di atas meja.

Tapi sebelum pesanan itu datang, Kirino berpamitan untuk pergi ke kamar mandi yang membuatku cukup heran kenapa laki-laki itu tidak kunjung kembali dalam lima belas menit. Dan aku dapat menangkap kilatan gugup di matanya yang mengantarku dalam berbagai kemungkinan-kemungkinan dibalik alasan mengapa laki-laki itu tiba-tiba mengajakku kembali bertemu.

Hal ini kembali mengingatkanku tentang pertemuan pertama kami di malam Minggu beberapa tahun yang lalu. Diselimuti oleh rasa canggung. Bedanya, rasa canggung kali ini justru membuatku merasa takut.

"Kamu nggak banyak berubah ya, Ra."

"Kirino, tolong jangan buat canggung."

"Nggak kok. Aku cuma mau bilang apa yang aku pikirin aja."

"Gimana kuliah kamu?"

"Baik. UTS kamu gimana? Masih suka bikin rangkuman?"

"Masih."

"Ra, aku mau jelasin beberapa hal."

Here we go. Penjelasan yang sudah aku tunggu sejak beberapa bulan lalu ketika laki-laki itu pergi. Selama beberapa hari sebelum menginjak hari ini, aku sudah mempersiapkan diri sematang mungkin. Tentang berbagai kemungkinan yang mungkin terjadi. Kalau saja tiba-tiba Kirino bilang, ia sudah bosan dengan hubungan kami dan lain-lain. Tapi tidak apa-apa, setidaknya aku masih bisa mendapati presensinya disekitarku.

Laki-laki itu berdiam diri untuk beberapa saat, menghadirkan kesunyian di tengah-tengah kami dengan piring dan gelas yang sudah kosong ketika kami sibuk dengan pikiran masing-masing yang berkecamuk. Aku menatap laki-laki itu dengan harap-harap cemasㅡtentu saja tidak sejelas itu.

"Maaf kalau waktu itu aku sempet emosi. Itu di luar kendali, Ra. Nggak seharusnya aku kayak gitu."

"Nggak apa-apa. Semua orang pasti pernah marah."

"Aku kecewa sama diriku sendiri yang udah egois dan masih belum dewasa. Makasih udah sabar."

"Kita kan sama-sama berproses, Kirino."

"Tapi, Ra. Aku udah ngerasa nggak pantes buat kamu."

"Kirino, it's just an excuse. Sorry, tapi aku nggak terlalu suka sama kata-kata itu."

"Emang gitu adanya, Ra."

Laki-laki dihadapanku itu menghela napasnya panjang lantas menyenderkan dirinya di kursi. Aku menatapnya lekat-lekat, menanti kata-kata lain yang mungkin akan ia lontarkan juga. Tapi Kirino masih bergeming. Aku membenci situasi yang canggung.

"Maaf."

"Jangan minta maaf terus. Semua nggak akan selesai dengan kata maaf, Kirino. Tell me something you supposed to say."

"Aku nggak bisa cerita semua soalnya.... Itu privasi. Tapi yang jelas, sekarang aku udah bisa berdamai sama diri sendiri."

Aku merasakan ada suatu kejanggalan yang begitu terlihat jelas. Ada sesuatu yang berusaha Kirino tutupi dariku. Entah rahasia apa yang laki-laki itu berusaha tutup rapat-rapat dariku. Rasa-rasanya tidak ada hal yang jelas disini karena ada satu potongan peristiwa yang hilang, atau sengaja dihilangkan.

"Thank God kalau kamu udah bisa berdamai dengan diri sendiri. Sekarang gimana?"

"Ra, malem ini muter-muter yuk kayak dulu. Boleh nggak aku telepon Papa kamu buat bilang kalau aku harus mulangin anaknya telat?"

Kirino benar-benar bersikap aneh malam ini. Tidak biasanya ia meminta ijin, melainkan langsung menelpon Papa dengan nada sok akrab. Setelah mengangsur ponselku ke tangan kananya, Kirino menelpon Papa dengan intonasi yang berbeda.

Di tengah terpaan dinginnya angin malam yang menembus kemejaku, Kirino kembali memacu sepeda motornya. Tapi kali ini kami sudah berbicara seperti kemarin-kemarin. Aku juga membagikan beberapa masalah yang sudah aku simpan sejak berbulan-bulan yang lalu.

Di suatu titik, Kirino kembali bergeming. Membuatku bingung menghadapi perubahan emosinya yang tidak jelas. Berkali-kali aku meyakinkan dirinya kalau ada sesuatu yang ingin disampaikan aku akan mendengarkannya dengan seksama. Dan itu membuatku menyesal sudah membuat Kirino berkata jujur.

Mengumpulkan kembali kepingan-kepingan kejadian yang terputar beberapa bulan belakangan membuat semuanya terlihat masuk akal. Tentang Kirino yang tiba-tiba menjadi sibuk atau bagaimana laki-laki itu dengan yakin memutuskan untuk berhenti menyewa kamar kost yang berada tidak jauh dari kampus.

Kirino datang menepati janjinya untuk pergi.

yey aku balik lagi! tbh, ini part tersusah buat ditulis :"D

ElixirWhere stories live. Discover now