9. Menemani Iva

31 3 0
                                    

Perhatian! Tolong dibaca bentar, yaa.

Bab sembilan dan beberapa bab setelahnya bakalan lebih panjang dari bab satu sampai delapan. Yang sebelumnya jarang mencapai 2.000 kata, sesudah ini kebanyakan melebihi daripada itu, tapi enggak selalu, kok.

So, pesanku, kalian baca pelan-pelan aja, ya. Jangan buru-buru. Kalau dirasa bosan, istirahat sejenak, alihin ke kegiatan lain. Terus, misal sudah dirasa mood baca lagi, kembali kemari. Intinya atur segimana nyamannya Teman-Teman

Enjoy reading and I hope you like it !💫✨

***

Ingin sejauh apa pun langkah menghindar, takdir semesta senantiasa punya cara untuk mengejar. Jadi, sebelum kaki mengeluh lelah, cegah segala ambisi yang enggan mengenali sudah.

***

Sepasang netra bulat Kelabu mengerjap-ngerjap. Berusaha beradaptasi dengan silau yang ditumpahkan mentari hingga terpancar menembus jendela kamar. Setelah berhasil mengumpulkan kesadaran yang terlelap selama kurang lebih dua jam, perlahan Kelabu beringsut dari tempat tidur--singgasana ternyaman.

Gadis yang mengenakan baju piama itu mendapati hari kian beranjak petang. Ia memang baru saja tidur siang usai membersihkan rumah dan melakukan serangkaian kegiatan ringan. Sabtu selalu menjadi salah satu bagian akhir pekan di mana Kelabu bisa menghabiskan banyak waktu di tempat kediaman, sekaligus kesepian karena Asap serta Unggun tentu masih disibukkan oleh pekerjaan.

Suara ponsel berdering terdeteksi indra pendengaran Kelabu ketika langkahnya sudah hampir membawa si empu kaki ke ambang pintu. Dengan malas-malasan, Kelabu memutar balik tubuhnya, lalu meraih benda pipih yang tersimpan apik di atas meja belajar.

Ada panggilan telepon dari Iva. Jempol Kelabu mengusap layar ponsel hingga vokal sahabatnya itu merebak begitu saja.

"Halo! Selamat sore, Kelabu!"

Tiada perlu jeda panjang untuk dengkusan Kelabu melayang. Jarang sekali Iva mengawali telepon dengan salam paling ramah yang seolah memenangkan nominasi sejagat bumi. "Bau-baunya ada sesuatu, nih."

Tepat tatkala Kelabu menguatarakan hal itu, terdengar kekehan dari seberang. Ia kembali membawa langkah kakinya keluar kamar dengan ponsel yang setia hinggap di daun telinga. Membiarkan Iva membereskan tawanya.

"La, lo ingat, 'kan, Miko itu anak klub futsal?"  tanya Iva kemudian, yang entahlah masih layak disebut pertanyaan atau tidak, sebab gadis itu sudah pasti mengetahui  jawabannya. Tidak pernah sekalipun tentang Miko lepas dari anak-anak kata yang dilahirkan mulut Iva. Iya, sesering itu sahabatnya bercerita, jadi mana mungkin Kelabu lupa.

Cerita Bianglala dalam SemestaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang