xlvi

32K 2.6K 690
                                    

Barisan-barisan huruf yang memenuhi halaman peranti pengolah kata seakan berbisik di telinga Laras, begitu riuh, menjejalkan berbagai ide ke kepala gadis itu. Pemuda di toko buku kini tak lagi berada di toko buku, melainkan berdiri di dalam dunia memori tempat kakaknya tinggal. Pilihan-pilihan berenang-renang di sekelilingnya, masing-masing menentukan akhir dari cerita.

Akhir cerita yang hingga kini belum ditentukan oleh Laras.

Sudah hampir satu bulan gadis itu berhenti di halaman ini. Berkali-kali ia mencoba menulis, namun berkali-kali juga ia menekan tanda hapus. Banyak sekali alasan yang meracuni pikirannya. Akhir yang terlalu memaksakan; akhir yang terlalu datar; akhir yang sedih; akhir yang bahagia.

Di antara semua itu, mana yang paling tepat untuk ceritanya?

"Nu," tegur gadis itu perlahan pada sosok pemuda sastra yang tengah tekun bergulat dengan kata-kata di buku. Sore ini, ia kembali duduk di lantai kamar Yanu. Awalnya mampir mengembalikan buku, yang berakhir ia juga mengerjakan tugas dan menggalaukan tulisannya di tempat ini.

"Hm?" Pemuda itu berdeham sebagai tanggapan, matanya masih terpaku pada barisan huruf di atas kertas.

Meski begitu, Laras tahu bahwa Yanu akan tetap mendengarkan keluhan-keluhan yang dilontarkannya. Ia menghela napas dalam-dalam, menurunkan laptop dari tumpukan modul di pangkuan. Hangat dari gawai masih membekas di telapak tangan.

"Which one do you prefer, happy ending or sad ending?"

Kali ini, pemuda itu mengangkat pandangannya dan menoleh ke arah Laras yang menyandarkan kepala ke dinding kamar. Sepasang mata kecil di balik kacamata menatapnya datar, seakan mengira-ngira. Laras memiringkan kepala, menunggu Yanu melempar jawab.

"Akhir yang pas?"

"Yang kayak gimana?" kejar Laras. Yanu melarikan telunjuk di atas punggung buku, pandangannya kini lurus ke depan.

"Yang masuk akal. Nggak maksa tiba-tiba. Nggak deus ex machina. Kata dosenku gitu, sih," kata pemuda itu setelah beberapa saat. Laras mendesah pelan. Bahkan baginya yang tidak mendapatkan kuliah mengenai penulisan kreatif, ia tahu hal-hal tersebut.

"Masih bingung nentuin ending?" tanya Yanu kemudian.

Laras mengangguk. "Maksudku, si kakak udah bahagia di dalam dunia memori. Kalau dia ditarik ke dunia nyata lagi, bakal ngeganggu tatanan nggak, sih? Soalnya di dunia nyata kan dia udah meninggal?"

"Terus?"

"Di sisi lain, kalau dia balik ke dunia nyata, ending-nya bakal bahagia buat anak-anaknya. Semacam ada, retribution gitu, loh, atas keputusan egoisnya pas awal-awal."

"Hm, dua-duanya masuk akal," tanggap Yanu. Laras mengerucutkan bibir, diam-diam mengiyakan perkataan Yanu.

"Tulis yang kamu mau dulu aja, Ras," usul Yanu. "Nanti coba buat alternatifnya. Daripada idenya cuma menuhin kepala kamu yang udah penuh?"

"Iya, ya."

"Kenapa sih, nulis cerita tuh, susah banget? Kayak, udah punya bayangannya, tapi pas mulai susah," keluh Laras.

"Bukannya itu karena kamu males?" celetuk Yanu tepat sasaran, membuat Laras hanya bisa meringis tipis. Tapi ia masih belum mau menyerah.

"Kadang udah niat tapi beneran blank gitu, tauu. Nanti di tengah buntu juga. Di akhir bingung bikin ending yang pas."

"Terus ya, Nu. Cerita ini tuh, melenceng banget dari ide yang awalnya aku buat. Tiba-tiba nambah si kakak-beradik keponakan Mr. Wasp. Awalnya yang cuma tentang petualangan Mr. Wasp, jadi lebih ke family-centric. Padahal udah bikin outline juga. Apa emang dasarnya aku gampang kedistrak, ya?" racau Laras sambil menusuk-nusuk tempurung lutut dengan telunjuk.

Parade NgengatWhere stories live. Discover now