xl

15.6K 2.3K 289
                                    

Laras menatap telapak tangannya yang berlumur tanah dan kompos. Gadis itu tengah berjongkok di depan bedeng tanaman melon di rumah kaca, dengan lengan kemeja flanel tergulung hingga siku. Sinar matahari tengah hari jatuh lewat celah dedaunan dan jaring-jaring pelapis langit-langit.

Sudah empat hari berlalu, Laras mengingatkan dirinya. Empat hari setelah Dead Poets Society dan penggalan puisi dan panggung seni. Empat hari setelah entah apa yang membuat tangannya bertaut dengan tangan Yanu. Empat hari dan rusuh aliran darah masih terasa tiap kali matanya menatap si tangan kanan.

Gadis itu menghela napas panjang.

Mungkin kata-kata Yashinta yang dicatut dari Saka benar.

Laras bukan orang yang bebal walau di lisan selalu menyangkal. Ia sadar, perlakuan Yanu padanya tidak seperti biasa walau rasa nyaman yang mereka miliki masih sama. Kata Rahdian, dirinya adalah satu-satunya perempuan yang dekat dengan Yanu. Tambahkan segala interaksi mereka selama ini. Sore hari yang dihabiskannya di kamar Yanu sambil berbincang mengenai buku. Panggilan suara di malam hari saat ia mengerjakan tugas. Lalu, kata-kata. Tulisan-tulisan di folder daring mereka yang membuat tidur Laras tidak tenang selama empat hari belakangan. Kalimat-kalimat yang terlontar dari mulut pemuda sastra itu.

I'm trying my best to keep you here. Memikirkan kalimat itu saja sudah membuat Laras salah tingkah setengah mati. Here? Di sini? Di mana? Mohon maaf saudara Surya Nugraha, kalau bicara, tolong yang jelas, bisa? Lalu, selama sisa malam itu dilewatinya dengan menahan diri agar tidak terlihat seperti orang bodoh tersenyum-senyum sendiri.

Semua hal itu berpusar-pusar di dalam kepalanya yang selalu sibuk. Ia mulai mengira-ngira, menempatkan keping-keping perasaan di tempat yang seharusnya. Rasanya, tidak susah menghubungkan semua itu, membangun teori dalam kepalanya.

Namun, teori Laras tidak selalu benar. Seperti teorinya akan hubungan Yanu dan Silvia yang runtuh bahkan sebelum dibuktikan.

"Kenapa tangan lo?" Roni tiba-tiba saja berjongkok di sisi Laras, menyipitkan mata karena pose Laras sudah mirip seperti gnome penunggu taman. Laras cepat-cepat menggeleng, lalu meringis kecil.

"Lo nyureng-nyureng lihatin tangan emang bakal tumbuh duit?" komentar Roni. Pemuda itu mengulurkan tangan, mencoba meraih tangan kotor berlumuran tanah milik Laras. Gadis itu cepat-cepat menarik tangannya, menepiskan kotoran yang menempel di sana seadanya.

Roni mendesah pelan.

"Kenapa? Sekarang tangan lo kalo megang sesuatu bisa jadi emas?" Entah dari mana pemikiran aneh itu muncul di kepala Roni, tapi Laras hanya tertawa lebar.

"Gue bukan Midas, ya."

"Midas siapa, lagi?" tanya Roni. Laras menatap partner laboratoriumnya tak percaya.

"Lu nggak tahu Midas? Raja Yunani yang kalau nyentuh sesuatu bisa jadi emas? Midas' Touch?" repet Laras. Roni mengibaskan tangan.

"Nggak kenal, tuh."

"Yeu, makanya banyak baca," celetuk Laras.

"Gue banyak baca jurnal nggak ada yang bahas Midas, tuh," sangkal Roni. Laras mendecap pelan mendengarnya. Temannya satu ini hanya membaca kalau memang sangat perlu dan diwajibkan. Pusing gue Ras, kalau lihat tulisan. Cukup jurnal aja.

"Udah, ah. Lo masih mau mendekam di sini? Gue mau ke kantin dulu. Lo nggak makan?" tanya Roni yang dijawab dengan gelengan kecil dari Laras.

Roni membulatkan mulut tanda maklum, lalu berdiri. Pemuda itu mengulurkan tangan kepada temannya yang masih berjongkok di depan baris tanaman.

Parade NgengatWhere stories live. Discover now