xv

13.2K 2.5K 193
                                    

Laras mengamati rumah bercat krem di depannya. Rumah berlantai dua tersebut mempunyai halaman yang penuh sesak dengan motor dan sepeda. Lantai terasnya berdebu, pasti jarang disapu. Ada tumpukan sepatu dan sandal di dekat pintu.

"Masuk, Ras," ujar Yanu yang muncul di belakangnya.

"Gak apa-apa?" tanya Laras tak yakin. Ia belum pernah masuk ke tempat kos laki-laki sebelumnya. Yanu memicingkan mata.

"Nggak bakal saya apa-apain. Kalau saya macem-macem gebuk aja pake buku yang kamu pegang," kata Yanu sambil menunjuk buku biokimia setebal dosa di tangan Laras. Gadis itu meringis kecil mendengarnya, lalu mengekor Yanu memasuki rumah bercat krem tersebut.

Bagaimana ceritanya Laras bisa terdampar di tempat ini sendiri, semua adalah salah Fariischa Putri Andayani, yang sebagai teman tak tahu diuntung, kabur dari tanggung jawab menemani Laras mengunjungi Yanu. Padahal, gadis itu yang mengusulkan agar mereka datang ke kontrakan Yanu begitu tahu bahwa pemuda itu tidak ke kampus.

"Kan, lu bilang mau pinjem buku. Ke sana, lah, sekalian balikin jaket." Begitu kata Farii.

Waktu Laras mengirim pesan pada Yanu untuk minta alamat kos Yanu, pemuda itu menawarkan agar dia saja yang ke kampus. Tentu saja berkat hasutan Farii, Laras menolak dengan sopan.

Nggak apa-apa, aku sama Farii kok kesananya. Lagian mau milih sendiri bukunya

Begitu balasan Laras sesuai instruksi dari Farii.

"Katanya bareng Farii?" Ini adalah Yanu yang menanyakan absennya sang pengkhianat tersebut. Laras tertawa kecil.

"Kabur dia. Mau nonton Star Wars katanya," jawab Laras, mengulang alasan yang dilontarkan temannya.

"Nggak ikut nonton?"

Laras menggeleng. "Nggak ngerti film macam begitu."

Mereka melewati ruang tamu yang kosong, dua pintu yang tertutup rapat, hingga mereka berhenti di depan pintu ketiga yang berdekatan dengan tangga dan ruang makan. Yanu mendorong pintu tersebut, lalu menyalakan lampu dan kipas angin. Pemuda itu menyingkirkan kabel di dekat pintu dengan kakinya, dan mempersilakan Laras masuk.

"Sori berantakan," katanya pelan. Padahal Laras sudah sibuk mengagumi betapa kamar Yanu lebih rapi dari kamarnya. Buku-buku tersusun rapi di rak kotak-kotak, tidak ada baju yang berserakan, bahkan karpet yang melapisi lantai pun nyaman untuk dipijak. Satu-satunya yang terlihat tidak serapi yang lain adalah tempat tidur. Selimut masih belum terlipat dan seprai yang kusut.

"Ini mah, aku juga kalah rapi," gumam Laras. Yanu menoleh, lalu tertawa kecil. Pemuda itu duduk bersila di lantai, menyandarkan punggung ke tempat tidur. Laras meletakkan tas dan bukunya di lantai. Matanya segera menjelajahi punggung buku yang berderet rapi. Buku-buku tersebut disusun berdasarkan penulis dan genre.

"Banyak banget, Nu. Ini beneran cuma selama di sini?" tanya Laras memastikan. Ia memperkirakan tak kurang dari seratus buku yang menghuni rak itu. Mungkin lebih. Buku Yanu bervariasi dari novel klasik yang terkenal hingga buku puisi Lang Leav yang sepertinya semua orang kecuali Laras pernah membacanya.

"Hasil menghamburkan uang, ya gitu," ujar Yanu datar.

"Adaaa Ruta Sepetys yang baru!" pekik Laras saat matanya tertumbuk pada buku bersampul warna biru. Gadis itu segera menarik buku tersebut, lalu duduk di sebelah Yanu. Ia merapikan gelungan rambutnya, lalu meluruskan kaki.

"Itu tahun lalu, kali, Ras," kata Yanu. Laras menggembungkan pipi.

"Tapi aku belum baca," balasnya.

Parade NgengatWhere stories live. Discover now