xxii

12.4K 2K 127
                                    

Ratusan kilometer dari gadis yang jatuh terlelap dengan sambungan telepon masih terhubung, seorang pemuda tengah berjuang menghancurkan tower midlane yang terakhir.

Jemari tangan kirinya lincah menekan-nekan keyboard. Q, W, E, R, F, D, berganti-ganti. Tangan kanannya melarikan mouse, menggerakkan karakter dalam layar, menghindari serangan dari lawan. Mulutnya sedikit terbuka, tanda ia tengah dalam keadaan konsentrasi penuh. Sedikit lagi ia akan memenangkan gim ini. Sedikit lagi, setelah teamfight terakhir.

Begitu logo Victory muncul di layar, Yanu memundurkan kursinya dan meregangkan tubuhnya yang kaku. Hampir lima jam ia bermain tanpa jeda kecuali untuk minum atau ke toilet. Kedua orang tuanya hanya menggeleng heran, namun sudah biasa akan kelakuan putra bungsu mereka.

Yanu keluar dari client, lalu mematikan komputernya. Pemuda itu melepas kaca mata dan menyeka matanya yang lelah. Beranjak dari kamar, ia menuju dapur, mengisi kembali gelas dengan air minum.

Ketika ia kembali ke kamar dan berbaring di ranjang, dengan gelap memenuhi ruang, ia kembali memikirkan cerita Laras.

Tentang hubungan antar manusia yang rumit, tentang perasaan yang rumit. Ia sedikit banyak dapat memahami dari mana kekecewaan teman Laras berasal, namun ia juga tidak dapat menyalahkan Laras sepenuhnya. Seperti itulah perasaan manusia, tidak semuanya dapat berbalas dalam kualitas dan kuantitas yang sama.

Kamu juga sering ngilang, nggak?

Yanu tidak ingat apa ia pernah menghilang begitu saja dari kehidupan orang lain, atau memutus hubungan dengan potongan bersih. Mungkin pernah, namun ia tidak sengaja.

Dulu, saat ia mengakhiri hubungan dengan mantan kekasihnya, semuanya berjalan sesuai kehendak waktu. Waktu yang mengaburkan hubungan, mereduksinya menjadi remah-remah memori yang bersembunyi dalam pikiran.

Yanu orang yang sederhana. Ia melakukan apa yang disukai dan mengabaikan hal yang tidak ia suka. Seperti ketika semua orang mempertanyakan keputusannya untuk mengambil jurusan Sastra Inggris, Yanu bergeming dan tak goyah akan pilihannya. Ia menyukai buku-buku dan tulisan. Ia percaya diri akan kemampuannya dalam bidang tersebut.

Seperti menyukai Silvia, semua itu juga sederhana. Seperti alasan kenapa ia memilih untuk menyukai dalam diam.

Baginya, menyukai seperti ini cukup. Menyukai seperti ini adalah zona nyaman bagi Yanu.

***

Yanu menatap lalu lalang manusia di depan kedatangan terminal 3 bandara Soekarno-Hatta. Ia bosan setengah mati karena lupa tidak membawa buku untuk dibaca. Mau membaca ebook pun, tidak nyaman di mata. Akhirnya ia hanya bisa menyumpalkan earphone di kedua telinga dan mendengarkan lagu dalam mode acak.

"Nu, jemput Mbak Anggi di bandara, ya? Landing jam satu."

Itulah yang dikatakan oleh mamanya sebelum beliau berangkat kerja. Anggi seorang pegawai negeri sipil. Sudah dua tahun ini perempuan itu bertugas di Mataram.

"Ma, mending suruh Anggi naik kereta atau Damri," usul Yanu.

"Mbak Anggi, Nu. Kamu tega mbak kamu yang kecil itu bawa barang banyak terus mesti naik kereta atau bus sendiri?" balas Mama sambil mendelik.

"Ngapain bawa barang banyak? Biasanya kalau pulang modal bawa ransel satu doang," gumam Yanu.

Mama tampak heran mendengar perkataan Yanu. "Loh, nggak dikabarin, toh? Mbak Anggi kena mutasi ke Cikarang mulai minggu depan."

Parade NgengatDonde viven las historias. Descúbrelo ahora