xliv

14.8K 2.2K 507
                                    

Ada tujuh puluh delapan pesan tak terbaca di kotak masuk Laras. Beberapa memang pesan menumpuk di grup percakapan dan akun resmi yang diikuti. Beberapa datang dari nomor-nomor familier yang sengaja dibiarkannya teronggok tanpa dibuka.

Gadis itu memejamkan mata, duduk di kursi sambil memeluk lutut. Di meja, buku dan modul berserak, laptop menggerung akibat terlalu panas. Ponselnya masih terus-terusan bergetar, meninggalkan bunyi berderak pelapis silikon beradu kayu.

Kepalanya berdenyut nyeri. Laporan kuliah lapangan belum selesai dikerjakannya padahal Yashinta sudah menagih. Kenapa pula temannya yang satu itu gugup sekali? Batas pengumpulan tugas tersebut masih tiga, empat hari lagi?

Tapi, memang begitulah Yashinta yang disiplin dan tepat waktu. Sebisa mungkin memangkas alasan lupa atau telat mengerjakan.

Sepuluh menit kemudian, Laras membuka mata. Tangannya terangkat mengacak-acak rambut, lalu dengan gusar mengikatnya kembali. Ribet banget, sumpah. Mungkin setelah ini ia perlu potong rambut. Ibu selalu suka dengan rambut panjangnya. Sayang kalau dipotong, Mbak.

Padahal, kalau terlalu sering diikat bikin kepala sakit juga.

Ia meraih ponselnya, menatap nanar pada pesan dari Roni yang sengaja tak dibukanya sejak semalam. Pasti si jangkung tersebut marah-marah, karena sejak kuliah lapangan, Laras jadi lebih sulit untuk dihubungi.

Jujur saja, ia jengah jika bertemu Roni, padahal pemuda itu tampak biasa-biasa saja. Mungkin ini karma karena beberapa waktu lalu ia sering meledek pemuda itu yang canggung jika bertemu Farii. Kini, ia sedikit mengerti sikap Roni saat itu.

"Anjir, gue cariin lo malah mojok di sini?"

Kepala Laras tertoleh begitu cepat mendengar suara Roni. Pemuda itu segera duduk di seberangnya, menjatuhkan setumpuk buku ke meja.

"Sekali lagi gue tanya, lo punya hape fungsi, nggak, sih?"

Yang ditanya hanya melipat-lipat bibir, mengalihkan pandangan dari si penanya.

"Deadline tugas udah mepet, Ras. Lo jangan ilang-ilangan gini. Gue yang pusing."

"Udah gue bilang, 'kan? Ngerjain sendiri-sendiri. Lu tinggal bikin pembahasan aja ribet bener." Kesal, akhirnya Laras membalas juga. Bukankah selama ini mereka memang sering membagi tugas? Seharusnya Roni sudah tahu preferensinya untuk bekerja sendiri-sendiri.

"Datanya di lo?"

Benar. Data-data mereka memang selalu Laras yang menyimpannya.

"Ha. Kicep, 'kan?"

"Udah gue upload di drive, ya, enak aja," sangkal Laras.

"Hah?"

"Dari kapan hari udah gue taruh situ."

Kini, giliran Roni yang bungkam. Sesaat, sebelum kembali membuka mulut.

"Tapi 'kan, lebih enak ngerjain bareng-bareng biar bisa sama-sama ngerti. Nyamain persepsi juga," Roni melempar argumen lagi.

"Bisa dibahas pas udah selesai."

"Ya lihat aja lo sampai sekarang belum selesai. Emang masih ada waktu?"

Laras mendelik hebat mendengar nada menyalahkan yang menyertai kata-kata Roni.

"Ya itu salah lu nggak dari kapan hari ngerjain padahal datanya udah gue taruh di drive. Kita bagi tugas emang pembahasan bagian lu. Harusnya lu kerjain dulu, kek. Oper ke gue biar bisa gue koreksi. Ngapain nungguin kerja kelompok-kerja kelompok?"

"Ras, ini tuh tugas kelompok. Ya wajarlah kerja kelompok? Nggak semua orang bisa kerja pake cara lo. Jangan egois," ujar Roni tajam.

"Nggak semua orang bisa kerja pake cara lu," balas Laras cepat.

Parade NgengatWhere stories live. Discover now