xi

13.9K 2.3K 276
                                    

Laras dan Clarine menyelesaikan obrolan mereka dengan topik yang lebih santai, menanyakan kuliah Laras yang malah membuat gadis itu mengerang nelangsa. Atau topik perjalanan Clarine yang baru pulang dari Uzbekistan. Clarine bercerita tentang menara-menara dengan ubin warna-warni, negeri yang dilingkupi warna kuning pasir dan bazar-bazar unik. Negeri Ali Baba dan 40 Pencuri. Laras mendengarkannya dengan mata berbinar-binar, meneguk setiap kata yang diucapkan oleh Clarine.

Pukul lima lebih, Clarine bangkit. Jemputannya sudah datang, katanya. Perempuan itu menanyakan apakah Laras butuh tumpangan, yang dijawab Laras dengan tolakan halus. Ia punya firasat tidak enak. Lagi pula, mereka tidak menuju arah yang sama.

Firasat Laras terbukti benar, karena Satriya keluar dari mobil yang baru diparkir. Sama seperti Clarine, Satriya sudah sepenuhnya dewasa, terasa jauh, padahal hanya berbeda dua tahun dengan Laras. Satriya masih dengan wajahnya yang tajam, yang ceruk matanya dalam, yang kalau tersenyum membikin hati para gadis menjerit.

Lelaki itu berjalan santai menuju kedai kopi, kedua tangannya dimasukkan ke dalam celana. Ia mengenakan kardigan hitam di atas baju batik dengan dasar warna tanah, kontras dengan kulitnya yang lebih terang satu tingkat daripada kuning langsat. Sebuah lanyard masih terkalung di lehernya, berayun-ayun seiring langkahnya.

"Loh, Laras?" sapanya. Ia jelas terlihat kaget akan presensi Laras. Laras balas tersenyum kecil.

"Mas Satriya," ucapnya pelan. Ia bisa mencium samar bau kolonye entah apa bercampur dengan pengharum mobil wangi apel.

"Reunian dulu, sana," kata Clarine sambil tertawa kecil.

"Hampir lima tahun gak ketemu, udah gede aja si Laras," kata Satriya. Senyumnya masih senyum yang itu, yang dulu sering disaksikan Laras dari balkon depan kelas. Dari SMP hingga SMA, empat tahun Laras menyukainya.

"Hehe, apa kabar, Mas? Udah lulus kan, kuliahnya?" tanya Laras basa-basi. Sejujurnya Laras tahu kabar Satriya dari Bude yang merupakan teman dari orang tua Satriya. Ras, Mas Satriya di teknik ini. Ras, Mas Satriya katanya menang lomba di Jerman. Ras, Mas Satriya kerja di Bandung juga.

Bude tidak tahu saja kalau mending Laras tidak mengetahui semua itu. Sejak Satriya lulus SMA dan kuliah di Depok, Laras berusaha tidak mengorek-ngorek kabar mantan Ketua OSIS itu. Mati-matian menahan tidak menengok Instagram Satriya. Membalas pesan-pesan singkat yang pada awalnya jarang-jarang, lalu tidak ada sama sekali.

"Udah, lah. Nggak lihat apa nih name tag," ujarnya sambil melepas lanyard-nya, meletakkan benda itu di tangan Laras. Dasar pamer, gerutu Laras dalam hati.

"Aku di Bandung juga sekarang. Kok, nggak pernah ketemu, Ras?"

"Emangnya orang di Bandung cuma aku doang?" balas Laras cepat.

"Ya, apa kek. Kamu jarang kedengaran kabarnya," ujar Satriya.

"Nggak ada kabarnya," jawab Laras singkat, yang membuat Clarine dan Satriya tertawa.

"Masih galak aja sama Satriya," celetuk Clarine. Laras tidak galak, tidak pernah bermaksud untuk mengeluarkan kata-kata bernada galak. Namun, entah kenapa tiap kali berhadapan dengan Satriya seolah semua mur logika di kepalanya copot begitu saja.

"Padahal, ya, tiap remedi fisika aku yang ngajarin," tukas Satriya.

"Gak diajarin juga bisa minta ajarin yang lain," tanggap Laras.

"Yang lain siapa?"

"Mas Angga."

"Angga nggak bakat ngajarin orang. Pinternya disimpen sendiri," tandas Satriya. Alis Laras berkedut mendengarnya.

Parade NgengatWhere stories live. Discover now