xxi

12.7K 2.1K 274
                                    

Lagu-lagu Taylor Swift kesukaan Sana mengalun dari pemutar musik mobil. Mulut Sana berkomat-kamit mengikuti lirik sementara matanya awas menatap jalanan di depan, tangannya lincah menggerakkan kemudi.

Laras duduk di kursi penumpang, menyedot susu kotaknya, satu tangan menyangga kepalanya. Barisan-barisan pohon besar menaungi jalan raya berseling dengan warung tenda, ruko, dan minimarket menemani perjalanan kali ini. Jalanan cukup padat sore ini, truk dan mobil dan motor saling bersahutan, bunyi mesin terdengar samar dari dalam March putih milik Sana.

Tadi, gadis berambut cokelat tersebut mencetuskan gagasan untuk menonton film. Laras sih iya-iya saja, karena memang sudah terlanjur di luar dan Sana adalah kapten untuk hari ini. Lagi pula, kalau ngelayap-nya naik mobil dan ia cuma duduk manis di kursi penumpang, tidak buruk-buruk amat, kok.

Setelah berlama-lama memutuskan film mana yang akan mereka tonton, keduanya sepakat untuk memilih Insidious 4. Alasannya sederhana, karena Laras dan Sana sama-sama ogah menonton The Death Cure. Sana, karena tidak mengikuti serial tersebut dari awal, sedangkan Laras, karena belum membaca bukunya terlebih dulu.

Hasilnya, mereka bete luar biasa sehabis menonton. Baik Laras mau pun Sana bukan penggemar keras genre horor, namun demi memuntaskan rasa penasaran karena terlanjur menonton film-film terdahulu mereka menonton instalasi ke-empat dari seri tersebut. Memang sih, rasa penasaran mereka terjawab. Namun, keduanya sepakat jika plot dan penulisannya terlalu klise dan antiklimatik, jumpscare juga klasik, secara keseluruhan lumayan membosankan.

"Mending nonton Netflix di rumah udah paling bener," gerutu Sana saat mereka keluar dari parkiran mall. Laras menanggapinya dengan tawa sumbang.

"Lagian wis weruh pilihannya gitu-gitu aja, masih maksa nonton," timpal gadis satunya dengan enteng.

"Kangen nonton bareng, mbakyu. Kamu kok, kayaknya nggak ada kangen-kangennya?" tuduh Sana. Laras melempar pandangannya ke arah luar, menghindari tatapan Sana. Tuduhan tersebut menggores sesuatu di dalam dirinya.

"Wah, parah. Beneran nggak kangen," gumam Sana saat jawaban dari Laras tak kunjung datang.

"Ras, ngerti, nggak? Arek-arek kelas sering ngomongin kamu di grup." Kali ini suara Sana terdengar pelan.

Laras tidak mengalihkan pandangannya dari lampu-lampu jalan yang mulai dinyalakan. Berita dari Sana tersebut sebenarnya agak mengejutkan. Laras pikir teman-temannya akan melupakannya begitu saja.

"Kamu satu-satunya anak kelas yang kuliah di sana. Anak-anak yang kuliah di Bandung juga jarang dengar kabar kamu. Diajak kumpul bareng sama anak paguyuban juga katanya nggak pernah muncul." Rentetan kalimat-kalimat Sana seperti angin ribut, berdengung-dengung di telinga Laras. Semua itu benar. Laras memang seperti itu.

"Gak kenal, San," jawab Laras pada akhirnya.

"Ingat Suci, teman SMP kita? Sebelum aku sama kamu dekat, kamu seringnya sama dia, toh? Tapi waktu SMA kalian gak sekelas, seperti orang asing."

"Kamu selalu gitu, Ras. Selalu ingin memutus hal-hal yang sudah berlalu. Bahkan teman-teman yang pernah kamu punya."

Laras memejamkan mata. Ia tidak berani menatap wajah Sana. Pasti ada luka di sana. Ia pernah melihat wajah Sana yang dipenuhi kekecewaan saat pertama kali gadis itu putus dengan Haris. Bibirnya terlipat rapat, membentuk suatu garis kaku. Mata Sana akan kehilangan binarnya yang indah, menatap kosong lurus ke depan.

Ia yakin seperti itulah raut wajah Sana saat ini. Laras terlalu baik mengenal Sana.

"Selama ini aku selalu berusaha. Chat-chat dan dm yang jarang kamu bales. Ajakan main yang sering kamu tolak. Aku sampai mikir opo yo aku ada salah ke kamu."

Parade NgengatWhere stories live. Discover now