Sebuah tangan berurat milik Gumawan merengkuh tangan Kelabu yang bebas dari genggaman Unggun. Pria itu berujar mengambil jalan tengah, "Bang Asap sama Kak Unggun cari jajan dulu. Setelah itu terserah kalian mau main apa asalkan tetap hati-hati. Asap jagain Unggun, ya. Biar Ayah sama Kelabu. Nanti kalau sudah selesai, kita ketemu di sini lagi atau telepon Ayah kalian ada di mana."

Ketiga anaknya menyetujui tanda sepakat. Asap dan Unggun berlalu dari sana setelah melambaikan tangan. Dua remaja dengan selisih umur dua tahun itu menyusuri beraneka jajanan yang diperjualbelikan. Sementara Kelabu dengan antusiasmenya menarik lengan Gumawan menuju wahana bianglala.

"Pelan-pelan, Nak. Bianglalanya enggak bakal lari, kok."

Kelabu terkekeh ringan mendengar candaan yang dikeluarkan ayahnya. Akan tetapi, ibarat kata angin lalu, Kelabu tetap menarik tangan Gumawan, gadis kecil itu terlampau sukar untuk bersabar.

Usai membeli tiket dan dipersilakan memasuki kabin penumpang atau yang biasa disebut gondola—yang menggantung di struktur berbentuk roda raksasa—Kelabu dan Gumawan beranjak duduk bersebelahan.

"Ayah mau tanya, kenapa, sih, Kelabu suka sekali dengan bianglala?" Gumawan mengawali topik pembicaraan.

"Yaa, karena Kelabu suka aja. Di sini Kelabu bisa lihat semuanya. Enggak kayak di bawah, ketutupan pohon rimbun, bangunan tinggi. Kelabu pengin banget bisa naik bianglala paling tinggi sedunia, Yah."

Pria paruh baya itu mengangguk mengerti. "Jika ada waktu, Ayah ajak Kelabu ke sana, ya. Sebelum itu, Ayah berpesan, lain kali kalau kamu menyukai sesuatu buat alasan yang lebih dari sekadar suka saja. Sebab, di balik itu pasti ada sebuah hal berkesan yang kamu lupakan."

Bersilih ganti, kali ini Kelabu yang menganggukkan kepalanya. "Iya, nanti Kelabu pikirin lagi. Sekarang, 'kan, Kelabu masih kecil, Ayah."

Mendadak, bianglala berhenti berotasi. Hal biasa tentunya, tetapi bagi orang yang mudah terkejut atau baru memainkan wahana ini pasti akan bertindak panik.

"Kelabu enggak takut seperti mereka? Padahal gondola kita berada di posisi paling atas." Gumawan kembali mengajukan pertanyaan ketika melihat Kelabu bersikap biasa-biasa saja.

"Kelabu suka bianglala. Udah biasa juga naik begini. Udah sering ngerasain berhenti tiba-tiba. Jadi, Kelabu enggak bakalan cemas atau benci sama bianglala."

Dengan kondisi bianglala yang masih berhenti, atensi gadis kecil itu teralihkan. Di dekapan hangat sang ayah, Kelabu melemparkan sorot mata bulatnya ke hamparan cakrawala, di antara bangunan-bangunan tinggi khas kota metropolitan yang berlomba saling menyaingi. Terlihat cerah dengan bias cahaya rembulan yang menduduki fase purnama. Ribuan gemintang bagaikan titik-titik ajaib yang menguarkan sinar warna-warni dari kejauhan. Tidak butuh waktu lama, senyum sendu tercipta di wajah ovalnya.

"Ibu, hari ini Kelabu udah berumur sepuluh tahun. Kelabu senang, meskipun Ibu enggak pernah menemani Kelabu di sini. Tapi karena kekuatan Ibu saat itu, Kelabu masih bisa merasakan kebersamaan dengan Ayah, bang Asap, dan kak Unggun. Yang tenang di sana, ya, Bu. Kelabu akan selalu doain Ibu."

Gumawan mengungkap lengkungan di bibir tatkala menemukan anak bungsunya seakan berdialog dengan sosok yang memang tak ada lagi wujudnya. Mendiang istrinya pergi dari dunia ini ketika melahirkan Kelabu. Namun, ada yang berbeda dari senyuman Gumawan. Sesuatu yang dirahasiakan. Sebuah hal yang lagi-lagi lepas dari perhatian Kelabu.

Menetralkan ekspresinya sesaat, Gumawan berucap, "Oh, iya, Ayah punya hadiah untuk Kelabu."

Kedua mata bulat Kelabu seketika bertukar binar. Rasa sedihnya dalam waktu singkat lenyap. Sementara itu, bianglala kembali berputar.

"Wah! Ini apa, Yah?" Netra Kelabu berbinar setelah mendapati kotak kecil dengan corak bianglala abu-abu yang dikeluarkan dari tote bag—yang rupanya sedari tadi dijinjing oleh ayahnya. Kelabu baru menyadari hal itu.

Tepat di saat Gumawan hendak menjawab pertanyaan Kelabu, ponselnya bergetar dua kali. Sebuah pesan dari nomor yang kontaknya tidak ia simpan hadir kembali. Ada yang lain dengan Gumawan ketika membaca pesan tersebut. Dan dengan lihai, Pemilik Semesta seolah enggan Kelabu menjadi salah satu saksi, sehingga gadis kecil itu dibuat lebih asyik dengan hadiah barunya.

Bianglala berhenti bergerak. Kelabu menepuk lengan ayahnya, memberi tahu kepada Gumawan bahwa sudah saatnya mereka beranjak dari sana.

"Nak, kamu balik ke tempat awal kita tadi, ya. Di sana sudah ada bang Asap dan kak Unggun. Kalian pulang duluan saja. Ayah sudah pesankan taksi untuk kalian. Maaf, Kelabu. Ayah ada urusan sebentar."

Belum sempat Kelabu bertanya lebih lanjut. Sosok ayahnya pergi begitu saja. Perlahan lenyap di antara keramaian. Jauh dan tidak terlihat dengan pandangan. Kelabu menganggukkan kepala, gadis kecil itu berlalu dari sana menuju tempat semula dengan kotak kecil di dekapannya. Asap juga Unggun memang ada dan seperti titah Gumawan, mereka pulang ke rumah lebih dulu.

Akan tetapi, bagai disuguhkan hadiah selanjutnya oleh Pengatur Ketentuan. Keesokannya, tepat ketika bangun tidur, Kelabu tidak menemukan Gumawan. Di saat ia jatuh sakit karena masuk angin—sebab bengal memaksakan untuk tidak mengenakan jaket malam hari itu—ayahnya juga tidak kunjung pulang. Bahkan, hingga hari ini. Tatkala kejadian di pasar malam telah berlalu tujuh tahun lamanya, Gumawan belum jua menunjukkan kehadiran. Menghilang, pergi, tanpa jejak yang tersisa.

Hanya hadiah kotak kecil bercorak bianglala abu-abu yang diberikan Gumawan kala itu. Sebuah hadiah tidak dengan penjelasan. Kotak kecil yang baru Kelabu sadari, diberikan dalam kondisi tergembok. Tidak ada kunci yang berhasil ia temukan. Sehingga ia tidak bisa atau mungkin tak akan pernah bisa membukanya.

Semenjak malam hari itu, untuk pertama kali, bianglala menjadi bianglara dalam semestanya. Kelabu berubah sebagai pembenci bianglala. Setiap kali melihatnya, seolah ada pengingat bahwa satu sosok pergi usai pertemuan mereka di sana. Seakan menjelma sebuah kecaman, bahwa Kelabu yang menentang ketinggian berakhir ditinggalkan.

Cerita Bianglala dalam SemestaWhere stories live. Discover now