Asap mengangguk beberapa kali. "Setelah azan magrib, seperti biasanya, Yah."

"Ayah, kok, jadi ngobrol sama bang Asap? Ayo cepetan! Tadi katanya Ayah mau siap-siap. Kelabu enggak mau, ya, kalau sampai pasar malamnya tutup." Suara serta muka masam yang sarat akan kekesalan itu berhasil menarik perhatian Asap dan Gumawan.

"Iya, iya, baik, Kesayangan Ayah."

Gumawan mengalah, pria itu kembali melanjutkan langkah. Sedangkan Kelabu masih melayangkan tatapan sebalnya pada Asap. Tidak menghiraukan apa pun, sebab bagi Kelabu hari ini merupakan hari miliknya. Mungkin pula, saking tidak acuhnya seorang Kelabu kala itu, ia sama sekali tidak menyadari adanya raut kesedihan di antara gurat-gurat kelelahan pada roman muka Gumawan.

***

Mobil sedan hitam yang dikemudikan oleh Gumawan melaju di keramaian jalan raya. Tatapan Kelabu mengarah pada jendela mobil yang ia buka dengan lebar. Angin malam berdesir membuatnya merasakan kesejukan. Gadis kecil itu tampak begitu menikmati perjalanan menuju pasar malam, di saat sang ayah tak henti mengkhawatirkan dirinya sejak tadi.

"Kelabu, pakai jaketnya, ya, Sayang. Nanti kamu masuk angin," ucap Gumawan sembari melirik anak keduanya, Unggun, yang memegangi jaket milik Kelabu di kursi belakang. Pasalnya, gadis kecil itu hanya mengenakan gaun abu-abu tanpa lengan. Gumawan juga sudah memprotes hal ini. Kedua kakak Kelabu bahkan menjadi sasaran omelan Gumawan ketika mereka masih di rumah.

"Pakai jaketnya, Dek, atau kita enggak jadi ke pasar malam," tegas Asap seolah keisengannya beberapa saat lalu raib ditelan waktu.

Kelabu tetap menolak. "Pokoknya, Kelabu enggak mau. Lagian Kelabu, 'kan, udah biasa pakai ini di setiap ulang tahun. Kelabu enggak kenapa-kenapa, tuh. Bang Asap juga enggak boleh ngatur-ngatur. Di sini ayah yang nyetir mobil dan Kelabu yang ulang tahun."

Memang tak ada kesalahan dari ucapan yang dilontarkan oleh Kelabu barusan. Tiap perayaan ulang tahun, ia selalu mengenakan gaun tanpa lengan. Tampil bak tuan putri satu hari. Akan tetapi, kali ini berbeda. Mereka pergi ke perkumpulan wahana itu di malam hari. Tidak di waktu siang atau sore seperti biasanya. Ini pula karena kesibukan Gumawan belakangan.

"Kelabu enggak bakalan sakit, Ayah, Kak Unggun, dan Bang Asap, Kelabu janji," kata Kelabu kukuh pada pendiriannya.

Setelahnya tidak ada yang membahas tentang perjaketan dan Kelabu lagi. Meski tak begitu yakin Kelabu tidak akan apa-apa, tiga orang yang disebutkan oleh Kelabu tadi memilih mengalah. Mobil sedan hitam itu mulai memasuki wilayah tanah lapang yang menjadi tempat pasar malam. Lampu-lampu beragam warna yang berpendar di sana sini membuat Kelabu tak sabar untuk membebaskan diri dari mobil.

Satu wahana favoritnya berdiri tinggi, seakan memanggil Kelabu untuk lekas dihampiri. Bianglala, wahana yang menjadi pusat kebahagiaannya. Di mana tiada pekan yang berakhir tanpa wahana tersebut. Bahkan, di saat bertambah usia pun, Kelabu memilih bianglala sebagai hadiahnya.

"Mau main yang mana dulu, nih?" tanya Gumawan seiring langkah mereka berempat memasuki pasar malam.

"Bianglala, Ayah. Kelabu pengin naik bianglala!" sahut Kelabu cepat. Jari mungilnya menunjuk-nunjuk wahana yang tengah berputar-putar itu.

Kelabu sudah hendak berlari dari tempatnya jika saja Unggun tidak menahan tangan gadis kecil itu. "Nanti dulu, deh, bianglalanya. Kak Unggun pengin isi perut dulu, ya."

Asap yang mendengar penuturan Unggun mengangguk setuju.

"Yah ... Kak Unggun sama Bang Asap mah perut karet. Kan, tadi udah makan di rumah. Jajannya entar aja habis main," sungut Kelabu mengeluarkan jurus andalannya.

Cerita Bianglala dalam SemestaWhere stories live. Discover now