1. Sebelum Lara

307 58 87
                                    

Satu poin paling menyakitkan dalam hal kehilangan adalah di saat sosok yang disayangi pergi tanpa menyisakan jejak sama sekali. Hanya rasa bingung dan pertanyaan mengapa harus ditinggalkan.

***

Dua sudut bibir Kelabu tertarik ke atas, membentuk sebuah lengkung senyum yang manis dipandang. Gadis kecil itu kembali melihat pantulan tubuh mungilnya yang mengenakan gaun abu-abu selutut di cermin besar yang ada di kamar tidur. Begitu cantik dengan pita melingkar di bagian pinggang serta butiran-butiran mutiara putih di sekililing leher gaun. Surai hitam Kelabu digerai lurus dengan dua penjepit terpasang di sisi kanannya.

Hari ini adalah hari spesial Kelabu. Tak lain dan tak bukan hari ulang tahun yang kesepuluh. Sesuai dengan permintaannya tatkala ditanya oleh ayahnya ia menginginkan apa sebagai hadiah ulang tahun, Kelabu mengatakan ia hendak menghabiskan sisa hari di pasar malam. Begitu sederhana, tetapi itulah kesukaannya. Di sana ada sesuatu yang dengan mudah menciptakan bahagia.

"Kak Unggun, Kelabu udah cantik, 'kan?" Kelabu berpaling menatap menggemaskan ke arah kakak perempuan yang dengan piawai mengubahnya bak tuan putri di dunia dongeng.

Unggun tanpa ragu mengangguk cepat. "Adeknya Kak Unggun udah cantik dan akan selalu cantik." Gadis remaja itu mengusap lembut puncak kepala Kelabu.

Kelabu tersenyum makin lebar. Seperti anak kecil pada umumnya, ia senang ketika dipuji oleh orang lain. Apalagi itu berdasarkan dengan kebenaran.

Obrolan ringan antara dua kakak beradik itu terpotong sesaat suara klakson mobil terekam oleh gendang telinga mereka. Kelabu antusias beringsut dari tempatnya, berlari kecil ke luar rumah untuk menghampiri sosok yang paling ia tunggu sedari tadi. Tiada lain adalah ayahnya. Gumawan yang baru saja pulang bekerja.

"Ayah!" pekik Kelabu. Gadis kecil itu merentangkan kedua tangan, meminta sebuah pelukan hangat dari Gumawan.

"Ayah, Kelabu udah siap, tahu! Pokoknya, habis ini Ayah langsung mandi, ganti baju, dan enggak boleh lama. Terus, kita langsung berangkat, deh."

Pria paruh baya itu tertawa sejenak, gemas menangkap semangat anak bungsunya yang begitu berapi-api. "Iya, Nak, siap," balas Gumawan tegas dan tentu busur senyumnya enggan terlepas.

Kelabu menggelengkan kepala, berupaya mengeratkan pelukannya yang semula merenggang. "Enggak mau, Kelabu penginnya digendong Ayah."

Gumawan menghela napas pelan. Pria itu mengiakan saja kendati beberapa bagian tubuhnya, terutama bahu dan punggung terasa pegal, akibat usia yang makin tua dan pekerjaan di kantor yang kian membeludak. Membuatnya harus duduk di depan komputer selama berjam-jam dan memimpin beberapa pertemuan yang diadakan dengan klien perusahaan.

Kelabu kecil tampaknya tidak memedulikan hal itu. Bahkan, ia membuang wajah ketika kakak tertuanya, Asap, mengeluarkan ejekan. "Manja banget, sih, kamu, Dek. Anak manja nanti enggak diajakin naik bianglala, lho."

"Bang Asap, jangan dijahilin adeknya," tegur Gumawan usai mendapati raut wajah Kelabu menjelma seperti benang kusut.

Asap terkekeh meminta maaf. "Abang enggak iseng lagi, deh."

"Mbak Hani sudah pulang, Bang?" Gumawan melempar tanya di saat kedua netranya tidak menemukan eksistensi wanita yang menjadi pembantu paruh waktu di kediaman mereka. Hani juga ditugaskan untuk menjaga Kelabu selama ia berada di tempat kerja, sesaat Kelabu yang masih sekolah dasar pulang lebih dulu daripada kedua kakaknya.

Cerita Bianglala dalam SemestaWhere stories live. Discover now