Bab 8 : One Step Closer

44.6K 4.7K 119
                                    

Rupanya yang diceritakan Pak Wira bukan gosip semata. Kupikir beliau hanya melebih-lebihkan. Tapi lihat sekarang.
Seorang perempuan dengan celana training di atas lutut dan kaos pendek berwarna pink itu mengajak Mas Awan ngobrol saat aku menepi dekat pohon bersama Mbak Della setelah senam berakhir.

"Eh, itu Awan dideketin sama Tiwi. Kamu samperin sana, Ra," ucapnya setelah menyadari arah tatapanku ke Mas Awan.

"Nggak usah, Mbak. Barangkali ada hal penting mau diomongin."

"Halah pret. Tak kasih tau ya, Ra. Tiwi anak lantai satu itu salah satu penghuni sini yang naksir sama Awan. Lagian, kok ya dia pura-pura abai kalau ada istrinya disini," omel Mbak Della berapi-api.

Aku lebih penasaran ke sosok Tiwi itu yang sekarang sedang tertawa indah sambil mengobrol ke Mas Awan. Tanpa Mbak Della bilang pun, aku bisa membaca gerak geriknya yang keliatan mencari perhatian Mas Awan. Jarak ngobrolnya juga dekat.

"Naraa..kamu nggak mau nyamperin? Serius, jangan mau Awan digodain Tiwi. Dia perempuan nggak bener."

Aku terkejut saat Mbak Della berkata seperti itu.

"Maksudnya nggak bener gimana, Mbak?"
Dia agak salah tingkah, "Ya pokoknya kamu amankan dulu Awan."

Meskipun agak bingung dengan maksud ucapannya, aku akhirnya bangkit berdiri menuju Mas Awan.

Sebenarnya tadi senamnya asyik. Aku bersebelahan dengan Mas Awan lalu berpisah setelah senam. Mas Awan diajak ngobrol dengan beberapa laki-laki sementara aku dikenalkan ke penghuni lain oleh Mbak Della.

"Mas," panggilku saat sudah berada di dekatnya.

Dia menoleh. Titik keringat masih tersisa di pelipis sementara ujung rambutnya basah. Pemandangan yang entah kenapa membuat dadaku kebat kebit. Padahal aku sering melihatnya setelah mandi.

"Ra, ini Tiwi," dia mengenalkanku pada Tiwi.

Sekarang aku jadi jelas melihat wajah Tiwi. Cantik. Putih. Tubuhnya semampai. Tapi wajahnya itu yang membuatku mengakui kalau dia tak bosan untuk dilihat. Pantes kalau Mas Awan betah ngobrol dengan bidadari sepertinya.

"Hai, Mbak. Tadi udah kenalan, ya," Tiwi tersenyum manis sambil menyalamiku.

Aku balas menjabat tangannya. Agak memaksakan senyum yang memang tak biasa kulakukan.

"Nara."

"Mas Awan kalau abis bangun tidur masih keliatan cakep, kan, Mbak?" Tanyanya random.

Aku mengernyitkan dahi. Ngapain tanya kayak gitu? Di depan Awan pula.

Tiwi lalu tersenyum lebar, "Becanda, Mbak. Pernah liat Mas Awan bangun tidur soalnya. Kalau aku liatnya masih tetep cakep kok kayak sekarang."

Hah? Ngapain dia sampe bisa liat Mas Awan habis bangun tidur segala?

Aku mulai merasa tak nyaman. Dia melanjutkan ngobrol dengan nada biasa, tapi obrolannya benar-benar memperlihatkan kalau dia dekat dengan Mas Awan. Yang paling parah, dia memukul manja lengan Mas Awan saat membicarakan kucingnya dan bertanya siapa yang lebih imut. Kucingnya atau dia.
Padahal jelas-jelas aku berada di samping suami yang sedang digodanya.

Jengah lama-lama, refleks aku menyelipkan tanganku di antara jemari Mas Awan lalu mendekatkan badanku ke lengannya. Hal yang belum pernah kulakukan.

Tiwi menyadari gerakan kecilku. Lalu mungkin merasa tak enak, dia akhirnya pamit dengan alasan mau pergi ke luar.

"Ayo, pulang, Mas," ajakku setelah Tiwi pergi.

"Aku mau ambil semangka satu dulu," pamitku sambil melepaskan tanganku darinya.

Cloudy Marriage [KBM & KARYAKARSA]Where stories live. Discover now